JAKARTA – Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman memproyeksikan penurunan suku bunga Bank Indonesia atau BI-Rate akan berjalan lebih lambat dibandingkan dengan penurunan suku bunga The Fed atau Fed Funds Rate (FFR), dengan asumsi inflasi dalam negeri tetap terjaga di bawah 3 persen pada akhir 2024.
“Alasan mengapa kami berekspektasi bahwa penurunan suku bunga BI-Rate ini akan lebih lambat dari The Fed adalah karena kami mempertimbangkan diferensial suku bunga antara rupiah dan dolar yang saat ini berada cukup sempit, selisihnya cukup sempit,” kata Helmi, Rabu (22/5).
Helmi mengatakan, perbedaan suku bunga atau diferensial suku bunga yang sempit ini berdampak negatif pada suplai valuta asing (valas) di pasar terutama dari korporasi karena tidak ada insentif bagi korporasi untuk menukarkan kelebihan dolarnya, seperti dolar hasil ekspor ke rupiah.
Mengingat diferensial suku bunga pinjaman saat ini sangat tipis antara pinjaman rupiah dengan dolar, maka banyak terjadi refinancing oleh korporasi. Utang dolar korporasi yang jatuh tempo itu di-refinance dengan rupiah sehingga banyak perusahaan meminjam dalam rupiah dan menukarkan ke dolar untuk membayar kembali utang yang berdenominasi dolar.
“Sehingga dalam pandangan kami, penurunan suku bunga The Fed ini menjadi kesempatan bagi bank sentral untuk mengoreksi diferensial suku bunga yang sekarang tergolong sempit atau terlalu narrow. Dan apabila BI-Rate diturunkan dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan FFR, maka pengoreksian atau pelebaran kembali diferensial suku bunga tersebut akan terjadi,” kata Helmi.
Helmi mengatakan, siklus penurunan bunga dalam negeri akan terkait erat dengan siklus penurunan suku bunga The Fed. Citi berekspektasi bahwa pemangkasan suku bunga The Fed akan mulai terjadi pada Juli 2024 atau kuartal III 2024, dengan total kenaikan sekitar 100 basis poin (bps) atau empat kali penurunan hingga akhir tahun.
“Sehingga apabila The Fed menurunkan suku bunga di kuartal ketiga tahun ini, maka ini akan membuka ruang bagi BI-Rate untuk juga turun,” ujar dia.
Meski demikian, imbuh Helmi, perlu diwaspadai bahwa proyeksi tersebut bisa berubah. Apabila ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed mundur ke belakang, maka hal ini juga bisa mengakibatkan volatilitas di pasar US treasury dan volatilitas arus dana ke emerging markets.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada April lalu, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen dari sebelumnya 6 persen. Terbaru pada RDG bulan ini, BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di level 6,25 persen.