RIYADH – Diam-diam, ternyata Arab Saudi mengubah kurikulum pendidikan dengan menghapus nama Palestina dari peta buku sekolah. Hal tersebut terjadi menyusul ketegangan antara Palestina dengan Israel pasca pecahnya konflik di Gaza sejak 7 Oktober 2024.
Melansir New Arab, laporan lembaga pemikir pro-Israel menyebut kurikulum Arab Saudi terbaru menunjukkan perubahan signifikan pada buku teks dari tahun ajaran sebelumnya. Bahkan ini terlihat dalam terminologi.
Salah satunya adalah gambar dari buku Studi Sosial dan Nasional 2023-2024. Di mana ada peta Arab Saudi dan negara-negara sekitarnya tetapi wilayah Palestina dibiarkan tanpa nama.
“Ini tidak seperti peta dalam buku teks 2022,” dalam laporan itu dikutip Minggu (9/6/2024).
Kata-kata yang dianggap “bermusuhan” dengan Israel juga dihapus dari beberapa teks dalam kurikulum. Terutama istilah seperti “musuh” dan “musuh Zionis” dan teks yang memperingatkan tentang ambisi Israel di wilayah tersebut dan upaya untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka juga dihapus.
Laporan lainnya yang disajikan IMPACT-se menunjukan bahwa buku teks tersebut merujuk Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan dan sebagai ibu kota Palestina, bukan seluruh Yerusalem. Zionisme juga tidak lagi disebut sebagai “gerakan Eropa rasis”, dan bahasa lain yang sangat kritis terhadap Israel telah diubah.
“Secara keseluruhan, 21 kasus sentimen anti-Israel dalam buku teks lama telah dihapus dalam kurikulum baru ini,” tambah lama itu.
Perubahan tersebut diduga terkait dengan pembicaraan yang dimediasi Amerika Serikat (AS) untuk berupaya menormalisasi hubungan antara Riyadh dan Tel Aviv. AS awal bulan ini mengatakan bahwa mereka hampir mencapai pakta pertahanan dengan Arab Saudi, yang dapat membuka jalan bagi normalisasi Israel.
Riyadh mengatakan tidak akan menjadi perantara hubungan dengan Israel sebelum negara Palestina diberikan. Ini adalah syarat yang ditolak oleh pemerintah sayap kanan Israel.
Meski demikian belum ada konfirmasi dari Arab Saudi sendiri soal ini. Israel juga tak memberi pernyataan baru.
Perlu diketahui, operasi AS sendiri dalam menormalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab dimulai pada tahun 2017. Presiden AS saat itu, Donald Trump, menginisiasi Kesepakatan Abraham atau Abraham Accord, yang akhirnya menarik Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko untuk berhubungan secara diplomatik dengan Tel Aviv.
Setelah normalisasi itu, muncul laporan bahwa Washington sedang berupaya menginisiasi hubungan diplomatik antara Israel dan Arab Saudi. Namun hingga saat ini upaya tersebut belum terwujud.
Mantan direktur CIA David Petraeus mengatakan bahwa hal ini disebabkan langkah Israel yang tidak mau tunduk pada “Solusi Dua Negara”. Ini merujuk skema ini akan ada dua negara di wilayah itu berdiri berdampingan, Israel dan Palestina.
“Jalan yang solid, komitmen yang kuat terhadap solusi dua negara dari Israel adalah pertanyaan terbesar bagi rencana normalisasi Israel dan Saudi,” ujarnya kepada CNBC International.
Sementara itu, Arab Saudi memang tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara dan menolak mengakuinya sejak negara Yahudi itu merdeka pada tahun 1948. Namun, terdapat “kerja sama” yang terpisah antara keduanya dalam beberapa tahun terakhir, sehingga meningkatkan harapan akan perjanjian normalisasi.
Sejak akhir 2022, penerbangan Israel bisa melewati langit negeri itu. Ini seiring keluarnya aturan negeri tersebut yang mengizinkan semua penerbangan melintasi langit Arab Saudi tak terkecuali El Al, Israir dan Arkia, tiga maskapai penerbangan Israel.