Barak Militer Ala Kang Dedi Mulyadi: Pembinaan Atau Pelanggaran HAM?

FENOMENA kenakalan remaja merupakan salah satu tantangan sosial yang terus dihadapi oleh masyarakat modern sekarang, berbagai bentuk kenakalan remaja antara lain adalah tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran norma sosial lainnya yang kerap kali melibatkan anak-anak dan remaja sebagai pelakunya.

Dalam merespon hal tersebut banyak sejumlah pihak yang mengusulkan solusi alternatif diluar sistem pendidikan dan hukum formal, salah satunya adalah pengiriman anak-anak ke barak militer seperti yang digagas oleh bupati Jawa Barat yang sekarang menjabat yaitu Dedi Mulyadi. Gagasan ini didasarkan pada keyakinan bahwa disiplin ala militer mampu untuk membentuk karakter anak atau siswa yang lebih tertib dan bertanggung jawab. 

Sejak diluncurkan pada 2 Mei 2025, lebih dari dua ratus siswa SMP dan SMA telah dikirim ke barak militer sebagai bagian dari program pembinaan karakter. Tujuan utama program ini adalah mendisiplinkan anak-anak yang dinilai “nakal” atau bermasalah, dengan harapan mereka dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dan bertanggung jawab melalui pola hidup disiplin ala militer.

Menurut Dedi Mulyadi, barak militer merupakan pendidikan bagi anak-anak atau remaja nakal yang memiliki perilaku seperti menjadi geng motor, suka tawuran, minuman keras, kecanduan game online hingga yang sering bolos sekolah. Perilaku-perilaku tersebut yang dapat menyebabkan potensi tindakan kriminal dikemudian hari. Dan ini menjadi tanggung jawab bersama antara orangtua dan negara. Banyak orangtua yang mendukung program ini, bahkan secara sukarela menitipkan anak mereka karena merasa kewalahan mendidik di rumah. Dedi Mulyadi sendiri mengklaim program ini efektif, ditandai perubahan perilaku seperti pola tidur lebih teratur dan berhenti merokok.

Program ini menimbulkan kontroversi yang cukup serius di berbagai kalangan, baik dari pemerintah maupun masyarakat yang memiliki pandangan pro dan kontra. Pendukung program berpendapat bahwa pendekatan militer dapat menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan karakter positif yang sulit dicapai melalui metode pendidikan konvensional. Mereka melihat barak militer sebagai solusi konkret bagi anak-anak yang sulit diatur, dengan harapan masa depan mereka menjadi lebih baik. 

Namun, program ini tidak lepas dari kontroversi dan kritik tajam. Banyak kalangan, termasuk akademisi, aktivis HAM, dan organisasi pendidikan, menilai pendekatan militeristik ini berisiko menimbulkan tekanan psikologis yang serius bagi anak-anak. Mereka berargumen bahwa metode ini hanya mendisiplinkan fisik tanpa menyentuh akar permasalahan kenakalan remaja yang sebenarnya, seperti faktor lingkungan, psikologis, dan sosial yang kompleks. Selain itu, pendekatan ini dianggap mengabaikan aspek edukatif dan humanis yang seharusnya menjadi inti pendidikan anak.

Dari perspektif hukum tata negara dan HAM, kebijakan ini dinilai bermasalah. Pasal 28I UUD 1945 menjamin perlindungan anak dari perlakuan diskriminatif dan menuntut keadilan hukum. Selain itu, UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa pembinaan terhadap anak harus bersifat edukatif dan humanis, bukan represif atau militeristik.

Program barak militer berpotensi melanggar hak anak, terutama jika dijalankan tanpa keputusan pengadilan, tanpa pendampingan profesional, serta tanpa memberikan pilihan alternatif bagi anak dan orang tua. Pembinaan karakter anak memang penting, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan yang menghormati martabat dan hak anak. Pendidikan seharusnya menumbuhkan empati, nalar kritis, dan kesadaran, bukan sekadar disiplin fisik.

Program barak militer ala Kang Dedi Mulyadi memang menawarkan harapan perubahan positif melalui disiplin militer. Namun, di balik harapan tersebut terdapat risiko nyata pelanggaran hak anak, baik secara psikologis maupun hukum. Pembinaan karakter anak adalah hal yang sangat penting, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan yang menghormati martabat dan hak anak sebagai individu yang sedang berkembang.

Pendidikan karakter harus mampu menumbuhkan empati, nalar kritis, dan kesadaran atas konsekuensi tindakan, bukan sekadar disiplin fisik dan ketertiban semu. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dikaji ulang secara mendalam dan dikembangkan dengan melibatkan berbagai pihak demi kepentingan terbaik bagi anak-anak kita, masa depan bangsa. 

Dengan demikian, kita dapat membangun generasi yang kuat, berkarakter, dan berdaya saing tanpa mengorbankan hak dan kesejahteraan mereka. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, sudah saatnya kita berpikir ulang tentang metode pembinaan anak bermasalah.

Disiplin memang penting, tetapi bukan dengan cara yang mengabaikan hak asasi dan kebutuhan psikologis anak. Mari kita ciptakan lingkungan pembinaan yang tidak hanya tegas, tetapi juga penuh kasih dan pengertian, agar anak-anak kita dapat tumbuh menjadi pribadi yang sehat, cerdas, dan berakhlak mulia.

Penulis:

Eggidia Safitri

Eny Kusrini

Mahasiswi Jurusan Akuntansi S1 Universitas Pamulang

Artikel Barak Militer Ala Kang Dedi Mulyadi: Pembinaan Atau Pelanggaran HAM? pertama kali tampil pada tangselxpress.com.

 tangselxpress.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *