
JIKA mendengar kata kecurangan, mungkin yang langsung terbayang adalah kasus korupsi miliaran rupiah, manipulasi laporan keuangan perusahaan besar, atau skandal besar yang masuk berita TV. Tapi, tahukah kamu kalau kecurangan itu bisa terjadi dalam hal-hal yang kelihatannya sepele dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari?
Sebagai contohnya ketika seseorang berpura-pura sakit supaya bisa bolos kerja, mark up uang bensin waktu dinas, atau bahkan sekadar “nitip absen” waktu kuliah. Nah, perilaku seperti itu bisa dijelaskan lewat sebuah konsep bernama Fraud Triangle atau Segitiga Kecurangan. Teori ini sederhana tapi powerful dan yang bikin agak ngeri adalah ternyata teori ini sangat relevan dengan kehidupan kita semua.
Apa Itu Fraud Triangle?
Fraud Triangle diperkenalkan oleh Donald Cressey, seorang kriminolog, pada tahun 1950-an. Menurut teorinya, seseorang bisa melakukan kecurangan didasarkan atas tiga unsur utama:
- Tekanan (Pressure)
- Peluang (Opportunity)
- Rasionalisasi (Rationalization)
Tiga faktor ini membentuk segitiga, dan kalau semuanya muncul dalam satu situasi—boom! Kecurangan bisa terjadi, bahkan oleh orang yang awalnya tidak memiliki niat jahat.
Maka dari itu, mari kita bedah satu per satu!
- Tekanan (Pressure)
“Saat Hidup Menekan, Prinsip Bisa Goyah”. Tekanan ini bukan cuma soal ekonomi. Memang, masalah keuangan seperti utang atau kebutuhan mendesak sering jadi penyebab utama orang bertekad untuk melakukan kecurangan. Tapi tekanan juga bisa datang dari tempat lain, seperti target kerja yang nggak realistis, ekspektasi keluarga, atau bahkan sekadar rasa malu kalau ketahuan gagal.
Contoh di kehidupan sehari-hari:
- Seorang mahasiswa nyontek karena takut nilai jelek dan malu sama orang tua.
- Seorang karyawan ngaku-lembur padahal tidak bekerja, demi bonus akhir bulan.
- Seorang anak mengambil uang jajan adiknya karena tidak enak minta uang tambahan ke orang tua.
Tekanan bisa membuat seseorang berpikir pendek dan mengambil jalan pintas. Karena saat sedang terdesak, logika dan moral sering jadi nomor sekian.
- Peluang (Opportunity)
“Ketika Ada Celah, Munculah Niat”. Kecurangan hanya mungkin terjadi kalau ada peluang. Ini biasanya muncul karena kurangnya pengawasan, sistem yang longgar, atau kepercayaan berlebihan.
Misalnya:
- Tidak ada CCTV di gudang, maka ada peluang “mengambil sedikit.”
- Tidak ada sistem pengecekan absensi digital, maka “titip absen” jadi budaya.
- Kas kecil kantor tidak diaudit secara rutin, jadi bisa “dipinjam dulu.”
Semakin besar celahnya, semakin mudah seseorang tergoda. Dan yang menarik, kadang yang bikin celah itu bukan orang jahat, tapi sistem yang kurang rapi dan ketat atau budaya yang permisif.
- Rasionalisasi (Rationalization)
”Saat Hati Membenarkan Segala Bentuk Perbuatan”. Yang ini bagian paling “halus”. Rasionalisasi adalah proses mental di mana seseorang meyakinkan dirinya bahwa perbuatannya bisa dibenarkan. Nggak jahat-jahat amat kok. Hanya pinjam sebentar. Toh, semua orang juga begitu.
Contoh kalimat-kalimat rasionalisasi:
- “Ah, bos juga nggak pernah adil. Saya cuma ambil hak Saya.”
- “Ini kayaknya sudah biasa deh, senior-senior juga dulu gini.”
- “Saya butuh banget, dan nanti juga Saya ganti.”
Rasionalisasi membuat kecurangan terasa “tidak salah-salah amat.” Dan ini berbahaya, karena bisa membuat seseorang mengulanginya lagi dan lagi.
Jadi bisa kalian bayangkan kan betapa dekatnya segala jenis kecurangan di kehidupan sehari-hari?
Bayangin kamu adalah mahasiswa. Kamu punya tugas yang numpuk, kerja part-time, dan minggu ini ada tiga deadline sekaligus. Karena panik, kamu mengalami ketiga unsur fraud tersebut.
- Tekanan: takut nilaimu jeblok dan beasiswa terancam.
- Peluang: ada grup WA yang membagikan kunci jawaban.
- Rasionalisasi: “Ya udah lah, sekali ini aja. Semua orang juga pakai cara ini. Yang penting nilaiku aman.”
Akhirnya kamu copy-paste jawaban dari internet. Cuma satu tugas kecil, tapi itulah titik awalnya. Dan tanpa sadar, kamu sudah masuk dalam lingkaran fraud triangle. Sehingga selanjutnya kamu akan lebih merasa aman dalam melakukan kecurangan dalam konteks yang lain, yang mungkin lebih besar dampaknya.
Jadi, apa yang sekiranya bisa kita lakukan?
Nah, bukan berarti semua orang pasti akan berbuat curang. Pasti masih ada banyak individu yang memiliki prinsip tinggi. Tapi, penting buat kita sadar bahwa situasi kecurangan bisa terjadi ke siapa saja, bahkan orang yang selama ini terlihat baik dan jujur.
Berikut beberapa cara agar kita bisa “keluar” dari Fraud Triangle atau Segita Kecurangan:
- Sadari tekananmu, tapi jangan biarkan itu jadi alasan
Cari solusi sehat: diskusi dengan atasan, minta bantuan teman, atau atur waktu lebih baik.
- Minimalkan peluang
Kalau kamu adalah bagian dari organisasi, bangun sistem pengawasan yang baik. Transparansi penting, bahkan untuk hal kecil.
- Perkuat prinsip dan nilai diri
Latih diri buat berkata “nggak apa-apa gagal, yang penting jujur.”
Kalau kamu pemimpin, bangun budaya anti-kecurangan, bukan cuma lewat aturan, tapi juga lewat teladan.
Hal ini mengajarkan kita untuk jangan pernah meremehkan kecurangan sekecil apapun. Fraud Triangle mengajarkan kita bahwa kecurangan itu bukan soal siapa yang jahat, tapi soal siapa yang sedang berada di titik rawan. Dan celakanya, titik rawan itu bisa datang kapan saja dalam hidup kita, entah karena tekanan, kesempatan, atau akal-akalan kita sendiri.
Jadi, sebelum kita menunjuk orang lain sebagai “pelaku kecurangan,” lebih baik kita juga waspada dengan diri sendiri. Karena sering kali, fraud tidak dimulai dari kejahatan besar, tapi dari hal kecil yang dibiarkan.
Penulis:
Fifian Eka Suryadi
Artikel Fraud Triangle dalam Kehidupan Sehari-hari: Kecurangan Itu Dekat! pertama kali tampil pada tangselxpress.com.
tangselxpress.com





