RISKS.ID – Pagi itu, Gedung Lamber Jitmau di Kota Sorong tampak berbeda. Tidak ada hiruk-pikuk anak sekolah, tidak pula sorak mahasiswa baru. Yang terlihat justru langkah-langkah pelan, sebagian tertatih, sebagian digandeng tangan anak atau cucu.
Rambut memutih, wajah berkerut, namun mata mereka memancarkan sesuatu yang sama: harap dan kebanggaan.
Dikutip dari kantor berita Antara, Rabu, 17 Desember 2025, menjadi hari yang tak mudah dilupakan bagi 43 orang lanjut usia di Kota Sorong, Papua Barat Daya. Di usia yang bagi banyak orang identik dengan kata “istirahat”, mereka justru merayakan kelulusan.
Dengan toga sederhana yang menyelimuti tubuh renta, mereka diwisuda sebagai lulusan Standar 1 Sekolah Lansia—sebuah program pendidikan khusus dari Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN (Kemendukbangga) Perwakilan Provinsi Papua Barat.
Bagi sebagian dari mereka, inilah kali pertama duduk di bangku “sekolah” secara resmi. Ada yang semasa muda tak sempat mengenyam pendidikan karena keterbatasan ekonomi, ada pula yang harus bekerja sejak belia demi membantu orang tua. Hidup berjalan, waktu berlalu, usia menua. Namun hasrat belajar rupanya tak pernah benar-benar padam.
Di deretan kursi wisuda, para lansia itu duduk berdampingan. Sebagian tersenyum malu-malu, sebagian menahan haru. Tangan mereka bertepuk pelan saat nama satu per satu disebut. Tepuk tangan yang mungkin terdengar biasa, tetapi bagi mereka, itulah pengakuan atas perjuangan panjang melawan rasa lelah, lupa, dan keterbatasan fisik.
Ke-43 wisudawan itu berasal dari dua Sekolah Lansia di Kota Sorong: Sekolah Lansia Bethel di Kelurahan Klawuyuk, Distrik Sorong Timur, serta Sekolah Lansia Lucia di Kelurahan Kampung Baru, Distrik Sorong Kota.
Di sekolah inilah mereka kembali belajar, tentang tubuh mereka sendiri, tentang pikiran yang harus tetap dirawat, tentang relasi sosial, hingga cara memaknai usia senja dengan lebih bermartabat.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Papua Barat, Philmona Maria Yarollo, berdiri di hadapan para wisudawan dengan suara yang hangat. Baginya, acara ini bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan peristiwa kemanusiaan yang sarat makna.
“Wisuda ini adalah momentum berharga untuk memberikan penghargaan kepada para lansia yang dengan penuh semangat mengikuti dan menyelesaikan proses pembelajaran,” ujar Philmona.
Ia menegaskan, Sekolah Lansia lahir dari kesadaran bahwa usia lanjut bukanlah akhir dari segalanya. Program ini merupakan bagian dari Quick Win Kemendukbangga/BKKBN melalui SIDAYA, yang bertujuan memperkuat keluarga sebagai ruang paling aman dan nyaman bagi lansia.
Lewat pendekatan Bina Keluarga Lansia (BKL) dan inovasi Sekolah Lansia, pemerintah ingin memastikan para lansia tetap merasa dibutuhkan, dihargai, dan bahagia.
Di Papua Barat, perubahan struktur penduduk menuju aging population mulai terasa nyata. Jumlah penduduk lanjut usia perlahan meningkat. Fenomena ini membawa tantangan besar, mulai dari kesehatan, ketergantungan ekonomi, hingga risiko isolasi sosial. Namun di balik itu, tersimpan peluang untuk membangun lansia yang tangguh dan berdaya.
“Karena itu, BKKBN tidak hanya mendorong agar lansia berumur panjang, tetapi juga memiliki kualitas hidup yang baik,” kata Philmona.
Selama mengikuti Sekolah Lansia, para peserta dibekali pengetahuan yang menyentuh seluruh aspek kehidupan. Mereka belajar tentang kesehatan fisik—bagaimana menjaga tubuh agar tetap bugar di usia senja.
Mereka diajak memahami gizi yang tepat, kesehatan mental, serta pentingnya spiritualitas sebagai sandaran batin. Ada pula pembelajaran tentang kehidupan sosial dan ekonomi, agar para lansia tetap percaya diri, mandiri, dan mampu berperan aktif di tengah keluarga maupun masyarakat.
Semua materi itu terangkum dalam konsep tujuh dimensi lansia tangguh. Pendekatan ini diyakini mampu menumbuhkan kesadaran hidup sehat, meningkatkan rasa percaya diri, serta mengurangi perasaan tidak berguna yang kerap menghantui lansia.
Bagi sebagian peserta, Sekolah Lansia menjadi ruang berbagi cerita. Tentang kehilangan pasangan hidup, tentang anak-anak yang merantau, tentang tubuh yang tak lagi sekuat dulu. Namun di ruang itu pula, mereka menemukan kembali tawa, pertemanan, dan rasa memiliki.
Wisuda Standar 1 ini, kata Philmona, bukanlah akhir perjalanan. Justru sebaliknya, ini adalah langkah awal dari proses belajar sepanjang hayat.
“Lulusan Standar 1 dapat melanjutkan ke Standar 2, dengan fokus pada penguatan kemandirian dan aktivitas sosial. Setelah itu, ada Standar 3 yang menitikberatkan pada pemberdayaan dan produktivitas lansia sesuai potensi masing-masing,” jelasnya.
Selain pendidikan berjenjang, para lansia juga terus didorong aktif dalam kegiatan Bina Keluarga Lansia, Posyandu Lansia, pemeriksaan kesehatan rutin, hingga aktivitas ekonomi produktif seperti kerajinan tangan dan UMKM skala kecil. Semua disesuaikan dengan kondisi fisik dan kemampuan masing-masing—tanpa paksaan, tanpa tekanan.
Philmona tak lupa menyampaikan apresiasi kepada para kader BKL, tenaga pendidik, pengelola sekolah, serta Pemerintah Kota Sorong dan seluruh mitra yang telah mendukung terselenggaranya Sekolah Lansia.
Menurut dia, keberhasilan program ini adalah buah dari kerja kolektif dan kepedulian bersama terhadap martabat lansia.
“Para lansia ini telah membuktikan bahwa semangat belajar tidak mengenal usia. Mereka adalah inspirasi bagi kita semua, terutama generasi muda,” ujarnya.
Sejak 2024, Kemendukbangga/BKKBN telah membangun 10 Sekolah Lansia di Papua Barat. Dua di antaranya berada di Kota Sorong, dua di Kabupaten Sorong, dan dua di Sorong Selatan. Angka-angka itu mungkin terlihat kecil di atas kertas, tetapi di baliknya tersimpan ratusan kisah manusia yang memilih tetap tumbuh di usia senja.
Siang itu, ketika acara wisuda usai, beberapa lansia masih enggan beranjak. Mereka berfoto bersama, saling menggenggam tangan, tertawa pelan. Di wajah-wajah renta itu, tersimpan kebanggaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Di Gedung Lamber Jitmau, hari itu bukan hanya tentang kelulusan. Ia adalah perayaan atas keberanian melawan stigma usia, tentang harapan yang tak pernah benar-benar menua, dan tentang manusia-manusia yang membuktikan bahwa belajar adalah hak seumur hidup—bahkan hingga rambut memutih dan langkah tak lagi tegap.





