RISKS.ID – Pagi hari bagi Mariani Ulfa Jayanti tak lagi dimulai dengan secangkir kopi atau membaca berita. Selama empat tahun terakhir, rutinitasnya selalu sama, yakni memastikan ibunya sudah bangun, menenangkan jika sang ibu terlihat bingung, lalu membantu aktivitas dasar yang dulu bisa dilakukan sendiri.
Ibu Mariani kini menderita demensia, penyakit degeneratif yang perlahan menggerus ingatan, kemampuan berpikir, dan kendali emosi. Penyakit itu tak hanya mengubah hidup penderitanya, tetapi juga seluruh anggota keluarga.
“Empat tahun lalu hidup saya berubah total,” kata Mariani Ulfa saat berbincang dengan RISKS.ID di Jakarta, Kamis (18/12).
Awalnya, Mariani dan keluarganya tak pernah membayangkan kondisi sang ibu akan berkembang sejauh ini. Gejala awal hanya berupa lupa hal-hal kecil. Namun, waktu demi waktu, lupa berubah menjadi kebingungan, lalu berujung pada perubahan perilaku yang tak pernah mereka kenal sebelumnya.
“Ibu mulai sering bertanya hal yang sama berulang kali. Lalu suatu hari beliau tidak tahu jalan pulang. Dari situ kami mulai sadar ini bukan pikun biasa,” ujarnya.
Situasi semakin mengkhawatirkan ketika sang ibu lupa mematikan kompor dan beberapa kali keluar rumah tanpa tujuan jelas. Keluarga pun sepakat membawa sang ibu ke dokter spesialis saraf. Hasil diagnosis menyebutkan demensia, kondisi yang bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan.
“Waktu dokter bilang demensia, jujur kami syok. Tapi setelah itu, kami juga sadar harus siap menerima kenyataan,” kata Mariani.
Sejak saat itu, Mariani mengambil peran sebagai caregiver utama. Dia harus menyesuaikan hidupnya, membagi waktu antara pekerjaan, keluarga, dan merawat ibunya hampir sepanjang hari. Tantangan terbesar, menurut dia, bukanlah kelelahan fisik, melainkan pergulatan emosi.
“Ada saat ibu marah tanpa sebab, curiga, bahkan menolak saya bantu. Pernah beliau bilang saya orang asing. Itu menusuk, tapi saya sadar itu penyakitnya, bukan ibunya,” tutur Mariani.
Mariani mengaku sempat berada di titik terendah. Namun seiring waktu, dia belajar bahwa berdebat atau memaksa penderita demensia untuk “ingat” justru memperburuk kondisi.
“Saya belajar untuk ikut dunia ibu, bukan memaksa ibu masuk ke dunia saya,” katanya.
Kini, Mariani menjalani hari dengan rutinitas yang terstruktur. Jam makan, mandi, tidur, dan aktivitas ringan dibuat konsisten. Musik lawas, foto keluarga lama, dan suasana rumah yang familiar menjadi cara Mariani menjaga kenyamanan sang ibu.
“Rutinitas itu penting. Kalau berubah, ibu bisa gelisah,” ujarnya.
Dari sisi medis, dokter spesialis saraf dr. Andini Prameswari, Sp.N, menjelaskan bahwa demensia memang tidak hanya berdampak pada daya ingat, tetapi juga kepribadian dan emosi penderitanya.
“Demensia menyebabkan penurunan fungsi otak secara bertahap. Pasien bisa kehilangan kemampuan mengenali orang terdekat, sulit berkomunikasi, hingga mengalami gangguan perilaku,” jelas dia.
Menurut dr. Andini, keluarga memiliki peran sangat besar dalam menjaga kualitas hidup penderita. Pendekatan yang empatik jauh lebih efektif dibandingkan konfrontasi.
“Membantah atau memarahi penderita demensia tidak akan membantu. Justru membuat mereka semakin cemas dan agresif,” katanya.
Dia juga menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental caregiver. Banyak perawat keluarga mengalami kelelahan emosional atau caregiver burnout.
“Caregiver perlu istirahat dan dukungan. Merawat penderita demensia adalah maraton, bukan sprint,” ujarnya.
Hal itu dirasakan langsung oleh Mariani. Ada masa dia merasa sendirian, lelah, dan nyaris menyerah. Namun, dukungan keluarga membuatnya bertahan. Peran saudara, meski tidak selalu hadir secara fisik, sangat membantu secara emosional dan finansial.
“Saya belajar minta tolong. Itu bukan tanda lemah,” katanya.
Kini, kondisi sang ibu semakin menurun. Dia tidak selalu mengenali Mariani, bahkan sering memanggilnya dengan nama orang lain. Namun bagi Mariani, pengakuan bukan lagi tujuan utama.
“Walaupun ibu lupa saya, saya tidak pernah lupa siapa ibu bagi saya,” ucapnya lirih.
Mariani berharap masyarakat lebih memahami demensia sebagai penyakit, bukan aib atau kutukan usia. Dia juga berharap pemerintah memperluas edukasi dan dukungan bagi keluarga yang merawat penderita demensia.
“Yang sakit bukan cuma pasien, tapi satu keluarga,” katanya.
Empat tahun merawat ibunya mengajarkan Mariani satu hal penting: cinta tidak selalu dibalas dengan ingatan, tetapi diwujudkan lewat kehadiran.
“Merawat ibu adalah bentuk terima kasih saya. Itu saja,” pungkas dia.





