RISKS.ID – Peran PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) sebagai holding industri pertambangan dinilai semakin strategis dalam memperkuat koordinasi antarentitas BUMN tambang.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Watch (IMEW) Ferdy Hasiman menilai, kehadiran MIND ID telah membantu mengurangi fragmentasi kebijakan di tingkat korporasi, khususnya pada sektor mineral strategis yang menjadi tulang punggung industri nasional.
Menurut Ferdy, posisi MIND ID sebagai holding memungkinkan terjadinya sinergi yang lebih solid antarperusahaan tambang pelat merah. Dengan demikian, arah kebijakan dan strategi bisnis di sektor mineral tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, melainkan terkoordinasi dalam satu kerangka besar pengelolaan sumber daya alam nasional.
“Sinergi ini krusial karena mereka adalah leader di segala bidang mineral; ada Antam di nikel dan bauksit, Inalum di alumina, hingga Freeport di tembaga,” ujar Ferdy dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menilai, keterlibatan aktif MIND ID dalam berbagai proyek hilirisasi mineral strategis mencerminkan arah kebijakan negara yang ingin mendorong penguatan industri berbasis sumber daya mineral.
Hilirisasi dinilai menjadi kunci untuk meningkatkan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Namun demikian, Ferdy mengingatkan bahwa keberhasilan hilirisasi tidak hanya ditentukan oleh besarnya potensi sumber daya, tetapi juga oleh kepastian regulasi yang konsisten. Tanpa kepastian kebijakan, investasi jangka panjang di sektor mineral berisiko terhambat.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memang memiliki cadangan mineral strategis yang sangat besar dalam skala global. Tercatat, Indonesia menguasai sekitar 42 persen cadangan nikel dunia, 16,3 persen cadangan timah, serta 7,18 persen cadangan kobalt. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci dalam industri mineral dan energi, khususnya untuk mendukung transisi energi global.
Besarnya cadangan tersebut, lanjut Ferdy, membuka peluang besar bagi penguatan hilirisasi di dalam negeri. Namun di sisi lain, hal itu juga menuntut kehati-hatian dalam pengelolaan fiskal.
Pasalnya, proyek hilirisasi membutuhkan investasi yang sangat besar, ditambah berbagai insentif yang harus disiapkan pemerintah agar proyek-proyek tersebut layak secara ekonomi.
Dalam aspek keberlanjutan, Ferdy menyoroti penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) oleh sejumlah perusahaan tambang nasional. Dia mencontohkan penggunaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) oleh PT Vale Indonesia yang memanfaatkan aliran Danau Matano sebagai sumber energi bersih untuk operasional tambang. Selain itu, praktik reklamasi dan pascatambang yang dijalankan PT Aneka Tambang Tbk serta PT Bukit Asam Tbk juga dinilai sebagai langkah positif dalam penerapan ESG.
Meski demikian, Ferdy mengingatkan bahwa implementasi ESG membutuhkan pengawasan kebijakan yang konsisten agar tidak berhenti pada tataran formal atau sekadar pemenuhan dokumen. Dia menilai masih ada tantangan besar di lapangan, terutama terkait aktivitas pertambangan ilegal.
“IUP ilegal ini yang memberikan stigma negatif terhadap industri tambang. Ini menjadi PR besar pemerintah karena mengganggu perusahaan yang sudah menjalankan ESG dengan baik,” tegas Ferdy.
Dari sisi fiskal, Ferdy menilai tantangan utama hilirisasi terletak pada sinkronisasi kebijakan antara kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian dengan insentif yang diberikan pemerintah.
Ketidaksinkronan kebijakan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan risiko terhadap keberlanjutan investasi, sekaligus memengaruhi penerimaan negara dalam jangka panjang.
“Pemerintah perlu memberikan dukungan berupa insentif pajak atau pemotongan pajak. Jangan sampai di satu sisi diminta membangun smelter dengan biaya besar, namun di sisi lain dibebani bea keluar yang tinggi. Dukungan pemerintah harus sinkron agar deviden yang dihasilkan nantinya juga besar bagi negara,” kata dia.
Saat ini, sejumlah proyek hilirisasi strategis masih terus berjalan. Di antaranya adalah pengembangan ekosistem baterai terintegrasi di Halmahera Timur, pembangunan fasilitas manufaktur baterai di Karawang, serta pengembangan artificial graphite untuk mendukung kebutuhan industri kendaraan listrik.
Proyek-proyek tersebut menjadi bagian penting dari upaya Indonesia membangun ekosistem industri kendaraan listrik dari hulu hingga hilir.
Ke depan, Ferdy menilai proyek-proyek tersebut akan menjadi indikator penting untuk mengukur sejauh mana kebijakan hilirisasi mineral dapat dijalankan secara disiplin, berkelanjutan, dan terkelola dengan baik dari sisi fiskal.
Konsistensi kebijakan, sinergi antarentitas, serta pengawasan yang kuat dinilai menjadi kunci agar potensi besar mineral Indonesia benar-benar memberikan manfaat optimal bagi perekonomian nasional.





