RISKS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penentuan royalti atau imbalan dalam konteks hak cipta harus mengacu pada peraturan perundang-undangan. Penegasan tersebut tertuang dalam pertimbangan hukum putusan MK atas Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Putusan tersebut diucapkan dalam sidang MK di Jakarta, Rabu. Melalui putusan itu, MK sekaligus menjawab kebingungan para pemohon yang terdiri atas Tubagus Arman Maulana alias Armand Maulana bersama 28 musisi dan penyanyi lainnya terkait makna frasa “imbalan yang wajar” dalam Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta.
Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan menyatakan, frasa tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
“Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’,” ujar Suhartoyo.
Mahkamah menilai frasa “imbalan yang wajar” menimbulkan ruang penafsiran yang luas sehingga berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum mengenai besaran royalti yang seharusnya diterima pencipta atau pemegang hak cipta.
Oleh karena itu, MK memandang perlu adanya penegasan bahwa parameter imbalan yang wajar harus mengacu pada tarif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan oleh lembaga atau instansi berwenang.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyampaikan, penetapan tarif royalti harus melibatkan partisipasi para pemangku kepentingan terkait. Dia juga menekankan bahwa penentuan royalti tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat untuk dapat mengekspresikan dan menikmati karya ciptaan secara mudah dan terjangkau.
Selain itu, dalam penghimpunan royalti, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) diwajibkan melakukan koordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai dengan kelaziman serta prinsip-prinsip hak cipta.
“Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti atau imbalan yang terukur dan proporsional serta tidak memberatkan pengguna ciptaan dan masyarakat pada umumnya,” ucap Enny.
Selama ini, tarif royalti sebenarnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu.
Adapun frasa “imbalan yang wajar” yang dipersoalkan Armand Maulana dan rekan-rekannya merupakan bagian dari Bab XII UU Hak Cipta mengenai Lembaga Manajemen Kolektif. Bab tersebut pada pokoknya mengatur mekanisme perolehan royalti melalui lisensi kolektif atau blanket license.
Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta sebelumnya berbunyi, “Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dan hak terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.”
Dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Armand Maulana dan kawan-kawan.





