Darurat Hukum Kesehatan: Antara Etika Profesi dan Keadilan Pasien

Darurat Hukum Kesehatan: Antara Etika Profesi dan Keadilan Pasien

PELAYANAN kesehatan idealnya menjadi ruang aman bagi pasien untuk mendapatkan pertolongan, sekaligus ruang mulia bagi tenaga medis dalam menjalankan profesinya. Namun kenyataan di lapangan sering berbeda. Banyak kasus yang memperlihatkan benturan antara dokter, rumah sakit, dan pasien.

Di sinilah kita melihat adanya “darurat hukum kesehatan” yang kian nyata, sebagaimana tercermin dalam sejumlah perkara yang bersinggungan dengan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004. Pasien datang dengan harapan sembuh.

Dokter bekerja dengan keahlian yang dimiliki. Tetapi ketika hasil tidak sesuai, kekecewaan bisa berubah menjadi gugatan. Tidak jarang tenaga medis dilaporkan ke polisi, dengan dasar KUHP atau pasal kelalaian medis, sementara pasien merasa haknya diabaikan. Kondisi ini memicu ketegangan antara etika profesi medis dan keadilan pasien yang dijamin dalam UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

Etika profesi menuntut dokter untuk jujur, adil, dan mengutamakan kepentingan pasien. Namun dalam praktiknya, keputusan medis sering harus diambil cepat, dengan fasilitas terbatas, bahkan di tengah tekanan keluarga pasien.

Situasi darurat semacam ini kerap menimbulkan salah paham, seolah dokter bertindak semaunya, meski sebenarnya ia bekerja dalam kerangka hukum yang sudah diatur oleh UU Praktik Kedokteran. Sebaliknya, pasien memiliki hak mutlak: mendapat informasi jelas, pelayanan layak, dan perlindungan hukum. Hak ini secara tegas disebut dalam UU Kesehatan maupun Peraturan Menteri Kesehatan. Ketika hak ini dirasa dilanggar, wajar jika pasien menuntut. Masalahnya, jalur hukum yang ditempuh seringkali panjang, berbelit, dan menimbulkan ketidakadilan baru.

Indonesia sebenarnya punya aturan soal kesehatan. Namun kenyataannya, regulasi hukum kesehatan masih tumpang tindih. Kadang kasus medis masuk ranah pidana dalam KUHP, kadang perdata, kadang administrasi melalui UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009. Alhasil, baik dokter maupun pasien sama-sama merasa jadi korban sistem hukum yang tidak jelas arahnya.

Darurat hukum kesehatan ini mendesak negara untuk hadir lebih tegas. Butuh regulasi yang simpel, adil, dan berpihak pada dua sisi: tenaga medis yang bekerja sesuai etika profesi, serta pasien yang menuntut perlindungan hak. Tanpa aturan yang jelas, sengketa medis akan terus berulang dan melemahkan kepercayaan publik, meski berbagai UU sudah ada di atas kertas.

Organisasi profesi juga tidak boleh hanya jadi “tameng” bagi tenaga medis. Publik butuh jaminan bahwa organisasi profesi ikut melindungi pasien, sesuai mandat UU Praktik Kedokteran yang menempatkan Majelis Disiplin Profesi sebagai pengawas. Ketika sikap yang ditunjukkan lebih adil dan transparan, kepercayaan masyarakat akan tumbuh, dan stigma “dokter selalu dibela” bisa dihapus. Negara lain sudah melangkah lebih maju.

Ada yang membuat lembaga mediasi independen untuk menyelesaikan sengketa medis secara cepat dan manusiawi. Mekanisme ini terbukti lebih adil, karena tidak semua masalah harus dibawa ke pengadilan. Indonesia bisa belajar, dan mungkin memperkuat regulasi dalam UU Kesehatan terbaru, agar penyelesaian sengketa medis lebih menekankan pada mediasi berbasis restorative justice, bukan kriminalisasi.

Selain itu, pendidikan hukum kesehatan juga penting diperkenalkan sejak awal pada tenaga medis. Mahasiswa kedokteran maupun perawat perlu paham bahwa setiap tindakan medis ada konsekuensi hukumnya, baik menurut UU Kesehatan maupun peraturan etik profesi. Kesadaran ini akan membuat tenaga kesehatan lebih hati-hati, sekaligus memperkuat perlindungan bagi pasien dengan pendekatan keadilan restoratif. Pada akhirnya, darurat hukum kesehatan bukan sekadar persoalan aturan, tapi soal kepercayaan.

Ketika etika profesi berjalan seiring dengan perlindungan hukum bagi pasien, maka pelayanan kesehatan akan lebih manusiawi. Harapan kita, ke depan, dokter tidak lagi takut dilaporkan, dan pasien tidak lagi merasa ditinggalkan. Kesehatan sejati hanya mungkin hadir bila etika dan keadilan berjalan beriringan, dengan dukungan regulasi hukum yang jelas, kuat, adil, dan membuka ruang restorative justice.

Penulis:

Amiruddin Islami MQ. Baba

Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Pamulang

Artikel Darurat Hukum Kesehatan: Antara Etika Profesi dan Keadilan Pasien pertama kali tampil pada tangselxpress.com.

 tangselxpress.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *