Bayang-Bayang Kengerian di Ngarai Sianok, Kisah Tragis Bayi Dimutilasi Ibu Kandungnya

mutilasi

RISKS.ID – Angin pagi di Bukittinggi, Sumatera Barat hari itu bergerak pelan, membawa hawa dingin khas lembah yang memeluk Kota Jam Gadang. Namun ada sesuatu yang berbeda.

Di antara desir angin dan denting kehidupan yang berjalan seperti biasa, sebuah kengerian diam-diam menyelinap ke tengah masyarakat.

Bacaan Lainnya

Ngarai Sianok, yang biasanya menampilkan panorama hijau nan damai, mendadak menjadi saksi bisu sebuah kisah paling pahit yang pernah terjadi, tubuh seorang bayi, tak berdosa, ditemukan dalam keadaan terpotong tiga bagian.

Hari itu, Satuan Reskrim Polresta Bukittinggi menggelar rekonstruksi kasus. Warga berdatangan, sebagian dengan wajah tegang, sebagian lagi menahan rasa tak percaya.

Di hadapan mereka, seorang perempuan berusia 21 tahun, inisial L memeragakan kembali momen-momen yang bahkan untuk berdiri saja dia tampak tak sanggup. Dialah ibu dari bayi perempuan itu. Ibu yang kini berdiri sebagai tersangka pembunuhan sekaligus pemutilasi anak kandungnya sendiri.

Ada 24 adegan yang harus dia peragakan. Namun, dari rekonstruksi itu, enam adegan berjalan berbeda dari pengakuan awal. Berbelit-belit, berubah-ubah, seperti kisah yang tak ingin dia buka, namun dipaksa untuk ditayangkan ulang di depan dunia.

“Dari 24 adegan ada enam yang tidak sesuai. Pemeriksaan akan dilanjutkan kembali,” ucap Kepala Satreskrim Polresta Bukittinggi Kompol Anidar dengan suara tenang namun tak bisa menyembunyikan rasa miris yang menumpuk.

Di antara adegan-adegan itu, yang paling menyayat hati adalah saat L berpura-pura memeragakan momen melahirkan di kamar mandi. Sendirian. Tanpa bantuan siapa pun. Tanpa tangan yang menggenggam, tanpa suara yang menenangkan. Tak ada keluarga. Tak ada yang mengetahui.

Bayi yang tumbuh dalam rahimnya selama sembilan bulan itu, lahir hanya ditemani suara air menetes dan rasa sakit yang tak terperi.

Adegan lain memperlihatkan bagaimana potongan kecil tubuh bayi ditemukan, kaki mungil itu, yang seharusnya berlari suatu hari nanti, ditemukan terpisah dari tubuhnya.

Polisi masih menunggu hasil visum dan tes DNA, masih menunggu kebenaran apa yang sebenarnya terjadi pada bayi malang tersebut. Apakah ia benar-benar dimutilasi? Ataukah ada penyebab lain yang belum diungkap?

“Pemotongan atau mutilasi belum ada pengakuannya. Kami menunggu hasil otopsi,” lanjut Kompol Anidar.

Di tengah kerumunan, beberapa warga menutup mulut. Ada yang menangis. Ada yang menunduk tak sanggup melihat.

Rekonstruksi itu bukan sekadar adegan. Itu adalah pengulangan tragedi yang seharusnya tak pernah terjadi. Seorang bayi yang baru datang ke dunia, datang tanpa suara tangis panjang, pergi pun tanpa pernah tahu arti pelukan seorang ibu.

Yang lebih memilukan lagi, penyidik menyebut bahwa L bahkan tidak tahu siapa ayah dari bayi itu. L hanya menggeleng ketika ditanya. Seolah seluruh kisah hidupnya tenggelam dalam kekosongan yang tak ada ujungnya.

“Yang miris, pelaku ini bahkan tidak mengenali lagi siapa sebenarnya bapak dari anak yang dibunuhnya,” ucap Anidar lirih.

Di sisi lain, kuasa hukum L, Jhoni Hendri, berusaha memastikan hak hukum kliennya tetap dijaga. Menurutya, L kooperatif sepanjang pemeriksaan. Tetapi di balik kata “kooperatif” itu, ada sosok perempuan muda yang tampaknya hidup dalam tekanan, ketakutan, dan kebingungan yang teramat panjang dan tak berujung.

Kasus yang terjadi pada Sabtu (25/10) itu masih menyisakan duka mendalam. Bahkan hingga rekonstruksi digelar, satu bagian tubuh bayi belum ditemukan.

Setiap orang yang hadir di lokasi hanya bisa berharap agar bagian terakhir itu segera ditemukan, sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk makhluk mungil yang tak pernah diberi kesempatan untuk tumbuh dan bahagia.

Ngarai Sianok, yang biasanya menjadi tujuan wisata indah, kini menjadi ruang penuh luka bagi masyarakat Bukittinggi. Di tepi ngarai, angin kembali berembus, seakan membawa bisikan pertanyaan yang tak terjawab:

Bagaimana seorang ibu bisa sampai pada titik seterbebani ini?

Apa yang dialami L hingga ia menghadapi semuanya sendirian?

Dan mengapa bayi itu harus membayar pahitnya takdir dengan nyawanya sendiri?

Tidak ada jawaban yang mampu menghapus rasa pedih itu. Namun satu hal yang jelas, tragedi ini bukan hanya tentang sebuah kasus kriminal, tapi juga kisah tentang kesepian, tekanan hidup, dan putus asa yang tak terlihat, yang sering kali berbahaya ketika menimpa seseorang yang tidak punya tempat untuk bersandar.

Di tengah penyidikan yang terus berjalan, masyarakat hanya bisa menundukkan kepala, merasakan getir kehilangan, dan berharap kehidupan tidak lagi berlaku sekejam ini terhadap ibu dan anak yang lain di luar sana.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *