Cerita Dedi Mulyadi, Tiga Kepala Desa dan Upaya Menghapus Banjir di Karawang

dedi mulyadi
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Foto: Pemprov Jawa Barat

RISKS.ID – Aliran sungai yang membelah Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat pagi itu terlihat keruh. Di tepi sungai, suara mesin pengeruk terdengar menderu, berpacu dengan aliran air yang membawa sampah dan lumpur.

Sungai ini bukan sekadar badan air, tapi dia adalah sebab sekaligus saksi dari perselisihan yang nyaris memecah hubungan tiga desa.

Bacaan Lainnya

Selama bertahun-tahun, warga Desa Purwadana, Wadas, dan Sukamakmur hidup dengan ancaman banjir yang datang tiap musim hujan. Rumah terendam, perabot rusak, mata pencaharian lumpuh.

Teriakan protes kerap muncul, namun aliran air tetap tak bersahabat.

Sampai suatu ketika, pengerukan sungai yang seharusnya menjadi harapan malah berujung pada pertengkaran tiga kepala desa. Duh….

Ketika Harapan Jadi Sengketa

Proyek pengerukan sungai dilakukan untuk mengurangi potensi banjir. Namun pekerjaan yang meluas hingga ke wilayah lain membuat salah satu kepala desa dianggap “offside”.

Tuduhan itu memantik emosi. Di balik bahasa birokratis, konflik ini sesungguhnya dilandasi hal sederhana, yaitu harga diri dan tanggung jawab.

Di desa, status seorang kepala desa bukan hanya jabatan, namun juga kehormatan, simbol perlindungan. Ketika satu dianggap melangkahi kewenangan desa lain, perasaan tersisih pun muncul.

Keributan kecil meningkat, menjalar ke masyarakat. Sesungguhnya, bukan sungai yang memecah mereka, tapi ego manusia yang terlalu mudah meluap.

Pada Rabu (19/11) itu, perpecahan itu membawa mereka duduk satu ruangan bersama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.

Ruangan terasa hening, namun tegang. Di hadapan Dedi, tiga kepala desa itu diminta bukan hanya menjelaskan persoalan, tapi juga menerima kenyataan bahwa banjir tidak pernah mengenal batas desa.

Air tidak berhenti karena papan nama wilayah, air tidak peduli siapa memimpin desa apa. Ketika sungai meluap, semuanya sama, yaitu menjadi korban!.

“Saat ini yang kita butuhkan bukan klaim wilayah, tapi kebersamaan untuk menyelesaikan masalah banjir,” ujar Dedi, yang disambut anggukan berat dari ketiganya.

Dari Pertikaian Menjadi Kerja Sama

Usai pertemuan, semua berubah. Bukan karena kata-kata, tapi karena tanggung jawab baru yang diberikan. Alih-alih saling curiga, mereka kini punya peran yang saling melengkapi

Kades Sukamakmur, Dede Sudrajat, diberi mandat memantau aliran air dari Interchange Karawang Barat dan memastikan bangunan liar di sempadan sungai didata.

Sedangkan Kades Wadas, Jujun Junaedi, ditugaskan membongkar bangunan bermasalah dan mengawal penertiban agar aman.

Sementara itu, Kades Purwadana, E. Heryana, dipercaya merapikan saluran air di luar wilayah, membuat pintu saluran, dan melobi Resinda agar memberi akses jalan.

Ketiganya kini bukan lagi “pemain tunggal”, melainkan bagian dari satu panggung besar bernama penyelamatan lingkungan.

Sungai Bukan Musuh, Hanya Butuh Perhatian

Karawang, dengan tanah suburnya, terlalu sering terjebak dalam ironi, lahan luas, tapi tumbang oleh banjir. Bukan karena sungai membenci mereka, tapi karena sungai telah lama dibiarkan sendirian menanggung beban.

Bangunan liar menutup sempadan, sampah dibuang sembarangan, saluran air tidak lagi mengalir seperti semestinya.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Perum Jasa Tirta II berupaya mengembalikan sungai pada fungsinya. Namun pekerjaan ini tidak hanya milik pemerintah, melainkan milik masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Banjir bukan bencana alam semata, ia juga bencana sosial yang lahir dari kelalaian manusia.

Pada akhir pertemuan itu, yang tersisa bukan tepukan tangan, melainkan harapan kecil bahwa suatu hari nanti, anak-anak di Purwadana, Wadas, dan Sukamakmur tidak lagi bermain di genangan banjir, melainkan berlarian di tepi sungai yang airnya bersih.

Dan ketiga kepala desa itu, yang dulu bersitegang, kini berdiri berjajar bukan untuk saling menyaingi, tapi saling menguatkan. Demi sungai yang menghidupi mereka, dan demi tanah Karawang yang berhak bebas dari bencana.

Air sudah kembali mengalir. Semoga begitu pula kerja sama di antara mereka. Semoga sungai, yang dulu membawa pertengkaran, kini menjadi jalan pulang menuju persatuan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *