Kilang Pertamina Genjot Bisnis Rendah Karbon, SAF dari Minyak Jelantah Mulai Dikirim

PERTAMINA
Ilustrasi. Foto: Pertamina

RISKS.ID – PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) terus memperkuat perannya dalam mendukung ketahanan energi nasional. Tidak hanya mengoptimalkan kilang yang sudah beroperasi, KPI kini agresif membangun bisnis rendah karbon (low carbon business) sejalan dengan arahan Astacita Presiden Prabowo Subianto.

Pelaksana Tugas Harian Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis KPI, Prayitno, menegaskan komitmen tersebut dalam diskusi bertajuk “Kilang Pertamina Untuk Indonesia: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Hilirisasi, Transisi dan Ketahanan Energi” di Jakarta, Kamis (20/11).

Bacaan Lainnya

Menurutnya, KPI sebagai bagian dari PT Pertamina (Persero) menerapkan strategi pertumbuhan ganda. “Pertama, memaksimalkan bisnis eksisting (legacy business). Kedua, membangun bisnis rendah karbon,” ujarnya.

Kembangkan Green Refinery dan Biofuel

Untuk sektor energi bersih, KPI telah mengembangkan green refinery dan sejumlah produk berbasis bahan baku nabati (biofuel).

Prayitno menjelaskan, pengembangan biofuel dilakukan melalui dua mekanisme:

  • Co-processing, yaitu mencampurkan bahan baku nabati dengan minyak fosil pada kilang eksisting. Melalui proses ini, KPI berhasil memproduksi bioavtur Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) 2,4 persen berbahan minyak inti sawit (RBDPKO).

  • Conversion, yakni memproses 100 persen bahan baku nabati menjadi bahan bakar. Dari proses ini lahir biodiesel hydrotreated vegetable oil (HVO) atau Pertamina Renewable Diesel (RD).

Minyak Jelantah Jadi Avtur

Prayitno memaparkan bahwa KPI juga mengolah limbah nabati seperti minyak jelantah (used cooking oil/UCO). Produksi dilakukan di Kilang Cilacap dan akan diperluas ke Kilang Dumai serta Balongan.

“Green Refinery Cilacap sudah melakukan pengiriman perdana SAF berbahan campuran minyak jelantah. Ini mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan mengurangi emisi karbon,” jelasnya.

Menurutnya, pemanfaatan minyak jelantah tidak hanya menguntungkan secara lingkungan, namun juga ekonomi. “Minyak jelantah bisa menciptakan nilai tambah. Kami siapkan unit produksi baru di Cilacap, pasarnya bisa domestik maupun ekspor,” tambahnya.

Ia menegaskan langkah ini memberikan multiplier effect mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga peningkatan produksi dalam negeri. “Strategi ini mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus mewujudkan ketahanan energi yang berkelanjutan,” tegasnya.

Pengamat: Industri Kilang Tetap Prospektif

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai langkah KPI sudah lebih dulu menerapkan hilirisasi sebelum regulasi pemerintah diterbitkan.

“Sebelum ada aturan hilirisasi, Kilang Pertamina sudah melakukannya. Tren internasional menunjukkan kapasitas kilang bertambah, hanya produk bergeser ke petrokimia,” ujarnya.

Ia menyebut industri kilang tetap relevan, terutama di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, yang masih membutuhkan BBM dalam porsi besar. “Artinya, bisnis kilang tidak akan selesai. Mereka bisa switching ke petrokimia,” kata Komaidi.

Namun, ia mengingatkan bahwa pengembangan kilang memiliki kompleksitas tinggi dan butuh investasi besar. “Kompleksitas pembangunan kilang bisa 10–15 kali lipat lebih besar dibanding industri manufaktur,” jelasnya.

Berdasarkan Nelson Complexity Index (NCI), tingkat kompleksitas Kilang Pertamina Unit Cilacap tercatat sebagai yang tertinggi dibanding kilang lain di Tanah Air

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *