RISKS.ID – Di sebuah rumah sederhana di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, sebuah kursi plastik kecil masih teronggok di sudut ruang tamu. Warnanya sudah memudar, tetapi ibu Alvaro belum berani memindahkannya.
Kursi itu seperti masih menyimpan suara tawa anaknya, Alvaro Kiano Nugroho, bocah enam tahun yang hilang sejak Maret 2025, dan kini ditemukan tak lagi bernyawa.
Di atas kursi itu, dulu Alvaro suka duduk sembari menonton video kartun dari ponsel ibunya. Sekarang, kursi itu hanya menatap kosong ke dinding, seperti menunggu sesuatu yang tak akan pernah kembali.
Seperti menunggu Kiano, si kecil berlesung pipi yang kini tinggal nama.
“Dia Sudah Ditemukan…”
Suara Kapolsek Pesanggrahan AKP Seala Syah Alam terdengar berat saat dia mengucapkannya pada wartawan, Minggu (24/11) siang itu. Berita yang selama delapan bulan selalu ditunggu keluarga, ternyata datang dalam bentuk paling menyayat: “Alvaro sudah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia.”
Tidak ada sorak lega, tidak ada kata syukur. Hanya tangis yang pecah pelan di rumah keluarga. Mereka tak lagi memohon agar Alvaro ditemukan. Mereka hanya tak siap menerima kenyataan cara bocah lucu itu ditemukan, sebagai kerangka tak bernyawa, terkubur tanpa ada yang menjaganya, tanpa keluarga di sisinya, tanpa sempat pulang.
Pencarian Tanpa Petunjuk
Hari ketika Alvaro dinyatakan hilang seharusnya menjadi hari biasa. Dia pergi, dan tak pernah kembali.
Namun, waktu berjalan lambat bagi keluarga. Laporan kehilangan yang terlambat disampaikan membuat pencarian tak bisa segera dilakukan.
Ketika petugas mencoba menelusuri rekaman CCTV di sekitar lokasi, rekaman itu ternyata terhapus otomatis setiap hari, tidak tersimpan, tidak tersisa satu pun yang bisa menyimpan langkah terakhir Alvaro.
Polisi akhirnya menyisir lingkungan, memeriksa sekolah, menelusuri keterangan saksi, membuka aduan publik lewat pesan Instagram, bahkan hotline Kapolsek. Mereka membentuk tim gabungan.
Meski begitu, setiap hari pencarian seperti berjalan tanpa bayangan. Alvaro seperti lenyap begitu saja.
Keluarga menggantungkan harapan pada waktu. Tiap pagi, sang ibu menyiapkan satu gelas air di meja makan, seperti kebiasaan saat Alvaro masih suka terbangun sebelum sarapan.
Sang kakek, Tugimin (71), hanya duduk termenung di beranda. Dialah yang paling percaya bahwa Alvaro telah diculik seseorang, seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Hingga kini, dugaan itu bagai duri yang menancap terlalu dalam.
Ciri-ciri terakhir Alvaro seolah terus menghantui ingatan keluarga, kaos hitam, celana hitam, sandal hitam.
Tubuh kurus, kulit gelap, rambut cepak, dan lesung pipi, lesung yang dulu selalu membuat siapa pun ingin mencubit pipinya.
Kini lesung itu tak akan terlihat lagi. Hanya tersisa deskripsi, dalam berkas kepolisian. Hanya tinggal kata-kata.
Butuh Tes DNA
Polisi kemudian menemukan kerangka anak laki-laki di Pesanggrahan. Dicurigai kuat sebagai Alvaro. Namun hukum perlu kepastian, dan tubuh Alvaro tak lagi bisa berbicara.
Maka polisi membawa tubuhnya ke laboratorium, untuk melakukan tes DNA, pemeriksaan yang dingin, ilmiah, tanpa air mata. Sementara keluarga hanya bisa menunggu, seperti menunggu kabar dari seseorang yang sudah mereka tahu tak akan pulang hidup-hidup.
Kapolres Jaksel Kombes Nicolas Ary Lilipaly meminta publik memberi ruang. “Tunggu penyelidik dan penyidik bekerja dulu untuk memastikannya,” ujarnya. Kata-kata itu seharusnya terdengar profesional, tetapi di telinga keluarga, semuanya hanya berarti satu hal, penantian lagi.
Padahal, bagi mereka, kehilangan itu sudah final sejak tubuh itu ditemukan. Mereka tak butuh angka DNA untuk merasakan hancur.
Di rumah keluarga, kursi kecil itu masih setia. Di sampingnya, sehelai kaus hitam yang terakhir dipakai Alvaro dilipat rapi di lemari. Ibunya kadang meraihnya diam-diam, memeluknya, dan berharap Alvaro kembali seperti dulu, menggantungi lengannya, tertawa kecil sambil menunjukkan lesung pipi.
Namun kini, bahkan suara tawa itu harus dilanjutkan lewat peradilan. Lewat persidangan. Lewat hukuman bagi mereka yang merenggut Alvaro tanpa belas kasihan.
Kini, keluarga hanya menunggu satu hal terakhir: kesempatan memberi Alvaro tempat pulang. Bukan lagi pencarian, bukan lagi poster orang hilang. Hanya satu: pemakaman yang pantas, agar anak kecil itu tidak lagi sendirian.
Di antara air mata dan doa, sang ibu berbisik pelan di depan kursi itu:
“Kiano… kamu sudah pulang, Nak”





