RISKS.ID – Perusahaan teknologi pangan asal Malaysia, Ultimeat (M) Sdn Bhd, menyatakan kesiapan menanamkan investasi hingga Rp10 triliun untuk membangun dua fasilitas produksi microprotein di Indonesia. Langkah ini disebut sebagai dukungan terhadap ketersediaan suplai protein dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Founder sekaligus CEO Ultimeat Edwin Lee mengungkapkan microprotein yang ditawarkan perusahaannya berbasis singkong dan gula, sehingga seluruh bahan baku dapat dipasok dari petani lokal.
“Bahan bakunya dari dalam negeri. Kami tidak memerlukan impor untuk proses produksinya,” kata Edwin dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Ultimeat berencana membangun dua pabrik besar di Lampung dan Malang, masing-masing bernilai sekitar 300 juta dolar AS atau Rp4,9 triliun. Jika terealisasi, total investasi mencapai kisaran Rp10 triliun. Setiap pabrik membutuhkan pasokan dua juta ton singkong dan satu juta ton gula per tahun sebagai bahan baku.
Menurut dia, untuk mulai beroperasi dibutuhkan serapan awal sekitar 15.000 ton microprotein per tahun. Dalam kapasitas penuh, kebutuhan serapan meningkat menjadi 120.000–180.000 ton per tahun.
Microprotein Ultimeat diproduksi melalui proses fermentasi selama tujuh hari dan dirancang sebagai pengganti daging maupun susu untuk menu MBG. Produk tersebut memiliki kandungan protein sekitar 26 persen per 100 gram, jauh di atas kadar protein susu yang rata-rata hanya sekitar 3 persen.
“Produk ini juga mengandung serat hasil proses fermentasi sehingga memiliki manfaat tambahan bagi kesehatan pencernaan,” ujar dia dalam kegiatan Focus Group Recommendation: Rantai Pasok Inklusif Susu dan Protein MBG yang digelar Badan Gizi Nasional (BGN) bersama Kadin DIY di Yogyakarta.
Edwin menambahkan teknologi microprotein sudah digunakan di berbagai negara selama beberapa dekade dan memiliki basis riset yang kuat. Sebagai tahap awal, perusahaan akan mengirim satu kontainer berisi 9 ton microprotein dari fasilitas di Malaysia untuk diuji coba di 30 Sentra Produksi Pangan Bergizi (SPPB) di Yogyakarta, Pemalang, dan Malang.
Dia menegaskan MBG memang bisa menjadi penopang utama permintaan, namun Ultimeat tidak akan bergantung sepenuhnya pada pemerintah. Microprotein yang mereka produksi juga menyasar pasar ritel, industri makanan olahan, dan sektor horeka.
Pada kesempatan yang sama, Tim Pakar BGN Bidang Susu, Epi Taufik, menyoroti rendahnya konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia yang menempatkan Indonesia di posisi terbawah di ASEAN. Kondisi itu berdampak langsung pada kualitas sumber daya manusia.
Dia juga mengingatkan tingginya ketergantungan impor, dengan 80 persen pasokan susu dan 52 persen daging sapi masih harus didatangkan dari luar negeri.
“Ayam dan telur relatif aman, tetapi susu dan daging sapi tidak. MBG jangan sampai memicu kenaikan impor,” ujarnya.
Epi menambahkan selain kandungan gizi, penerimaan rasa oleh anak-anak juga menjadi faktor penting dalam menentukan sumber protein untuk program MBG.





