RISKS.ID – Bank Dunia menyoroti bencana banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera berpotensi memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Bencana tersebut dinilai menjadi salah satu faktor risiko penurunan (downside risk) bagi pertumbuhan ekonomi nasional hingga akhir 2025.
Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste David Knight mengatakan, bencana alam seperti banjir dapat mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai daerah, termasuk Sumatera.
“Terkait dengan risiko yang merupakan downside risk, tentunya bencana alam seperti banjir yang terjadi di Sumatra dan juga beberapa lokasi lainnya pun juga akan berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian di Indonesia,” kata David dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) di Energy Building, Jakarta, Selasa (16/12).
Banjir dan longsor berskala besar tercatat terjadi sejak akhir November 2025 di sejumlah wilayah Sumatera, di antaranya Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
David memaparkan, ke depan penerimaan negara juga diperkirakan menghadapi tekanan. Dia menilai keseimbangan antara risiko penurunan dan peluang pertumbuhan sangat bergantung pada keberhasilan reformasi pemerintah yang telah dicanangkan.
“Hal ini penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan ke depan, terutama untuk mempersempit berbagai kesenjangan yang masih ada,” ujarnya.
Di sisi lain, Bank Dunia mencatat adanya potensi risiko peningkatan (upside risk). Faktor tersebut antara lain membaiknya pertumbuhan mitra dagang utama seperti China serta harga komoditas ekspor Indonesia yang relatif menguntungkan. Reformasi perdagangan dan investasi yang berhasil dinilai mampu memperkuat prospek pertumbuhan ekonomi nasional.
Meski demikian, Bank Dunia mengingatkan masih terdapat tantangan struktural yang membayangi perekonomian. Salah satunya tekanan terhadap konsumsi masyarakat akibat penurunan upah riil.
Data Bank Dunia menunjukkan, sejak 2018 upah riil turun rata-rata 1,1 persen per tahun. Penurunan paling besar terjadi pada pekerja berketerampilan tinggi yang mencapai 2,3 persen, disusul pekerja berketerampilan menengah sebesar 1,1 persen. Sementara itu, upah pekerja informal atau berketerampilan rendah hanya tumbuh 0,3 persen.
“Bagi pekerja berketerampilan menengah, ini sangat berdampak dan berimbas pada kesejahteraan rumah tangga serta perekonomian secara keseluruhan,” kata David.
Dari sisi ketenagakerjaan, Bank Dunia mencatat penyerapan tenaga kerja pada Agustus 2025 meningkat 1,3 persen dibandingkan Agustus 2024. Namun, pertumbuhan tersebut masih didominasi sektor informal dengan tingkat upah rendah. Kondisi ini dinilai menjadi tantangan pasar tenaga kerja, meskipun stabilitas makroekonomi tetap terjaga.
Selain itu, kinerja perdagangan Indonesia diperkirakan menghadapi tantangan ke depan seiring meningkatnya ketegangan perdagangan global. Bank Dunia mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai 2,39 miliar dolar AS pada Oktober 2025, dengan surplus kumulatif sebesar 35,88 miliar dolar AS sepanjang Januari–Oktober 2025.
Namun demikian, David menilai lonjakan ekspor tersebut sebagian besar didorong oleh aktivitas frontloading, yakni eksportir mempercepat pengiriman barang sebelum pemberlakuan tarif resiprokal Amerika Serikat.
Dalam laporan IEP, Bank Dunia merekomendasikan sejumlah prioritas kebijakan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Rekomendasi tersebut meliputi penguatan fondasi digital, peningkatan kualitas lapangan kerja, serta reformasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan.
Di bidang fiskal, optimalisasi digitalisasi dan administrasi perpajakan dinilai dapat meningkatkan pendapatan negara tanpa perlu perubahan kebijakan yang terlalu signifikan.
Sementara dari sektor keuangan, perluasan akses pembiayaan, termasuk melalui program penjaminan kredit dan dukungan bagi UMKM, dipandang penting untuk mendorong investasi swasta serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.





