RISKS.ID – Pagi itu di Pantai Bondi, Sydney, Australia seharusnya berjalan seperti hari-hari biasa. Matahari musim panas menyinari pesisir Sydney, orang-orang berkumpul, tertawa, dan merayakan Hanukkah, sebuah momen sukacita dan kebersamaan masyarakat Yahudi di sana.
Di antara mereka ada Ahmed al Ahmed. Seorang ayah dua anak. Pemilik kios buah. Seorang pria yang saat kejadian hanya ingin minum kopi bersama keluarga dan kerabatnya.
Tak ada yang menyangka, dalam hitungan detik, pagi yang tenang itu berubah menjadi mimpi buruk yang sangat mengerikan.
Tembakan memecah udara. Orang-orang berteriak. Tubuh-tubuh berjatuhan. Di tengah kepanikan massal, ketika naluri manusia biasanya menyuruh untuk lari dan bersembunyi, Ahmed memilih sebaliknya: dia melangkah maju.
Sebuah video yang kemudian beredar luas menunjukkan momen itu, Ahmed bersembunyi di balik sebuah mobil, dadanya naik turun, wajahnya tegang. Lalu, dengan keberanian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, dia melompat keluar, menerjang pelaku, dan merebut senjata api dari tangannya.
Ahmed yang belakangan diketahui seorang muslim itu menjatuhkan penyerang ke tanah, mengarahkan senjata itu, lalu, saat menyadari polisi akan datang, menurunkannya dan mengangkat satu tangan ke udara. Isyarat sederhana dari seorang warga sipil yang tak ingin disalahpahami.
Namun keberanian itu harus dibayar mahal. Dua peluru bersarang di tubuhnya, satu di lengan, satu di tangan.
Kini, Ahmed terbaring di rumah sakit, menjalani pemulihan pascaoperasi. Luka di tubuhnya masih terasa, tetapi yang lebih berat mungkin adalah ingatan tentang apa yang dia lihat, orang-orang tak berdosa ditembak di depan matanya.

Pahlawan Sejati Australia
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, datang langsung menjenguk Ahmed. Di ruang rumah sakit yang sunyi, jauh dari sorotan kamera dan sorak-sorai, dia bertemu seorang pria yang menurutnya “mewakili yang terbaik dari negara ini”.
“Dia sangat rendah hati,” kata Albanese. “Dia merenungkan proses berpikirnya saat melihat kekejaman itu terjadi. Dia hanya ingin minum kopi, sesederhana itu,lalu mendapati dirinya berada di tengah penembakan,” tambah Albanese dikutip dari BBC.
Bagi sang perdana menteri, keputusan Ahmed untuk bertindak bukan sekadar refleks keberanian, melainkan bukti kekuatan kemanusiaan. “Dia memutuskan untuk bertindak, dan keberaniannya adalah inspirasi bagi seluruh warga Australia,” kata dia.
Orangtua Ahmed, yang melakukan perjalanan jauh dari Suriah, kini telah tiba di Australia. Albanese juga bertemu mereka, sepasang orangtua yang memandang anaknya bukan hanya sebagai penyintas, tetapi sebagai simbol harapan.
“Mereka adalah orangtua yang sangat bangga,” ujarnya.
Penjual Buah, dan Pahlawan Tanpa Seragam
Bagi keluarga, Ahmed bukan pahlawan nasional. Ia adalah ayah yang setiap hari bekerja menjual buah, memastikan anak-anaknya tumbuh dengan baik. Namun tragedi itu mengubah segalanya.
“Dia pahlawan. Seratus persen pahlawan,” kata Mustafa, sepupu Ahmed, kepada 7News Australia. “Dia terkena dua tembakan, satu di lengannya dan satu di tangannya,” tambahnya.
Pada Senin dini hari (15/12), Mustafa kembali menjenguknya. “Dia cukup baik,” katanya pelan. “Kami masih menunggu keterangan dokter. Saya hanya berharap dia akan baik-baik saja,” kata Mustafa.
Kalimat itu sederhana, tapi sarat kecemasan, sebuah harapan universal dari keluarga yang nyaris kehilangan orang tercinta.
Serangan di Pantai Bondi menewaskan 16 orang. Korban-korban itu datang dari latar belakang yang berbeda, seorang gadis berusia 10 tahun, seorang rabi kelahiran Inggris, seorang pensiunan polisi, hingga seorang penyintas Holokos.
Polisi Australia menyatakan, serangan ini sebagai aksi teror. Dua pelaku, yang diidentifikasi sebagai ayah dan anak, Sajid Akram (50) dan Naveed (24) dilaporkan menyatakan kesetiaan kepada kelompok ISIS.
Polisi juga menemukan bendera ISIS buatan sendiri serta alat peledak improvisasi di kendaraan mereka. Penyelidikan masih berlangsung, termasuk perjalanan mereka ke Filipina pada November lalu yang diduga terkait pelatihan bergaya militer.





