RISKS.ID – PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tahun depan bergerak di sekitar Rp16.800 per dolar AS. Proyeksi tersebut sangat dipengaruhi arah kebijakan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed).
Kepala Biro Banking Research and Analytics BCA, Victor George Petrus, menyampaikan di Depok, Jawa Barat, Senin (24/11), bahwa rupiah berpeluang menguat jika The Fed benar-benar menurunkan suku bunga lebih agresif.
“Seandainya arah suku bunga The Fed tahun depan masih on track tiga kali atau bahkan bisa lebih saat Trump mengganti Gubernur The Fed, rupiah bisa menguat terhadap dolar indeks,” ujar dia.
Namun Victor mengingatkan adanya risiko pelemahan rupiah apabila AS menerapkan kebijakan tarif resiprokal yang berdampak signifikan terhadap surplus neraca dagang Indonesia. Kondisi tersebut akan semakin berat jika dibarengi pelemahan harga komoditas.
“Kalau kedua hal itu terjadi bersamaan, rupiah berisiko terdepresiasi lebih jauh,” kata dia.
Meski begitu, Victor menegaskan bahwa fokus utama bukan sekadar menguat atau melemahnya rupiah, melainkan agar pergerakannya tetap terkendali.
“Yang penting dia itu manageable, jadi manage depreciation,” ujarnya.
Victor juga menilai Bank Indonesia (BI) bakal tetap menjaga stabilitas nilai tukar agar berada pada level fundamental yang sehat.
“Bank Indonesia pasti akan menjaga nilai rupiah kita di level yang sehat, level fundamental yang cukup kuat,” ucap dia.
Selain proyeksi rupiah, Victor ikut menyoroti potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan. Menurutnya, prospek pertumbuhan bisa lebih baik melalui stimulus belanja pemerintah, termasuk lewat program makan bergizi gratis (MBG) dan koperasi desa/kelurahan merah putih yang mulai berjalan.
“Kebijakan belanja pemerintah dengan program baru dapat menjadi dorongan positif bagi pertumbuhan ekonomi,” tutup dia.
