Kisah Pilu Alvaro Kiano Nugroho, Cemburu Ubah Ayah Jadi Algojo

alvaro kiano
Alvaro Kiano Nugroho. Foto: dok.keluarga

RISKS.ID – Tidak ada yang menyangka, ketika pagi 6 Maret 2025 itu tiba, sebuah rumah di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, diam-diam kehilangan suara tawa seorang anak kecil berusia enam tahun.

Tetangga mengira Alvaro Kiano Nugroho hanya sedang bermain di gang kecil seperti biasa. Tidak ada firasat bahwa hari itu adalah hari terakhir dunia melihat senyum mungilnya.

Bacaan Lainnya

Sore bergulir menjadi malam. Hari berubah menjadi minggu. Minggu menjadi bulan. Pencarian yang dilakukan keluarga dan polisi seperti berlarut tanpa ujung. Tak ada kamera pengawas yang menyimpan rekaman, tak ada saksi yang melihat Alvaro berjalan jauh dari rumah, dan laporan keluarga pun datang terlambat.

Semua seakan bersekongkol untuk menghapus jejak seorang bocah bernama Alvaro.

Selama delapan bulan, nama Alvaro hanya ditulis dalam poster-poster kertas yang mulai lembap dimakan hujan. Semua manusia dewasa sibuk memikirkan apa yang terjadi, tapi di balik semua kemungkinan itu, satu orang memilih diam dan bermuka datar: ayah tirinya sendiri.

Di balik hilangnya Alvaro, ternyata tersimpan racun paling tua dalam sejarah manusia, cemburu.

Tugimin, kakek Alvaro, mengungkap kisah kelam itu dengan suara bergetar di hadapan jurnalis. “Cemburu sama istrinya,” ujarnya lirih. Cemburu yang tumbuh dari prasangka: telepon tidak diangkat, dianggap selingkuh.

Istri pergi bekerja ke Malaysia, dianggap membangkang. Ketakutan kehilangan berubah menjadi kemarahan yang buta.

Dari sana lahir dendam. Dendam yang ditujukan bukan kepada perempuan yang dia curigai, tapi kepada anak yang seharusnya dia lindungi. Anak yang tidak pernah salah apa-apa.

Ayah tiri itu bernama Alex Iskandar. Ia menikahi ibu Alvaro sejak 2023. Rumah tangga yang rapuh, perpisahan yang terencana, kecemburuan yang membara, semua meledak ke arah seorang bocah yang bahkan belum paham apa itu cinta, apalagi perselingkuhan.

Alvaro menjadi pelampiasan dari pertempuran orang dewasa yang tidak pernah dia mengerti.

Ketika polisi akhirnya menemukan Alvaro pada akhir November 2025, dia tidak lagi pulang sebagai anak yang hilang. Ia pulang sebagai jenazah dalam dua kantong kertas yang tiba di RS Polri pukul 00.45 WIB.

“Dua kantong, kantong dari kertas. Lagi proses pemeriksaan,” kata Brigjen Polisi Prima Heru Yulih.

Tak ada lagi wajah yang bisa dikenali. Tak ada tubuh utuh yang bisa dipeluk sang ibu. Yang tersisa kini adalah serpihan hidup seorang bocah yang dulunya suka berlari kecil pulang ke rumah membawa krayon dari sekolah.

Pemeriksaan forensik harus dilakukan untuk memastikan apakah potongan itu benar-benar Alvaro, anak yang hilang delapan bulan, atau hanya doa yang sulit diterima keluarga.

RS Polri menunggu data ante mortem: rekam medis, ciri fisik, barang pribadi. Betapa ironis: seorang bocah yang dulu hidup di tengah keluarganya, kini bahkan butuh ilmuwan forensik untuk membuktikan bahwa dia benar pernah hidup.

Ayah Tiri yang Mati Sebelum Menjelaskan Dosanya

Ketika publik menunggu pengungkapan detail penyiksaan dan pembunuhan, sesuatu yang lebih mencengangkan terjadi: pelaku bunuh diri. Bukan di sel tahanan, melainkan di ruang konseling Polres Jakarta Selatan, seperti dikatakan Polda Metro Jaya.

Namun keterangan itu justru berbeda dari penjelasan Kapolres Jaksel yang menyebut ia meninggal dalam tahanan.

Perbedaan pernyataan itu semakin memunculkan tanda tanya. Tetapi satu hal pasti,
Alex Iskandar mati sebelum diadili.

Dia pergi meninggalkan dunia tanpa pernah dimintai pertanggungjawaban penuh. Tanpa pernah menjelaskan mengapa seorang anak harus menanggung api cemburu pria dewasa yang tak mampu mengendalikan diri.

Kini publik tidak hanya berduka untuk Alvaro, tetapi juga dibuat terdiam oleh kematian pelaku yang “mengunci rapat” detail penyiksaan terhadap bocah itu.

Di negara jauh bernama Malaysia, seorang ibu yang bekerja keras demi masa depan anaknya, kini hanya bisa menunggu kepastian: apakah dua kantong kertas itu betul-betul berisi anaknya?

Dia tak ada di rumah ketika tragedi itu terjadi, tetapi justru keputusan untuk bekerja ke luar negeri ikut menjadi pemicu kebencian suaminya. Seakan-akan, kerja untuk membangun masa depan justru menjadi alasan bagi masa depan itu direnggut dari tangannya.

Kini ia harus pulang untuk memeluk jenazah, bukan anak. Menjemput kepingan tulang, bukan keceriaan enam tahun yang pernah ia besarkan.

Kasus Alvaro seharusnya menjadi cermin besar, kekerasan terhadap anak tidak selalu datang dari orang asing, justru sering berasal dari rumah itu sendiri. Dari orang dewasa yang seharusnya melindungi. Dari hubungan yang penuh pertengkaran. Dari pernikahan yang dipaksakan bertahan oleh alasan ekonomi atau cinta yang tak sehat.

Kematian Alvaro bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah peringatan bahwa masa depan anak sering hancur oleh emosi orang dewasa yang tidak pernah belajar mencintai dengan sehat.

Anak tidak memilih lahir di keluarga siapa. Anak tidak bisa memilih ayah, ibu, atau rumah tangga yang dia jalani. Anak hanya ingin tumbuh, bermain, dan tersenyum.

Tetapi ketika orang dewasa lupa mengendalikan diri, ketika cinta berubah menjadi kepemilikan, ketika cemburu berubah menjadi kekerasan—anaklah yang pertama kali terluka.

Alvaro adalah korban dari pertengkaran yang bukan miliknya. Dari cinta yang berubah menjadi dendam. Dari rumah yang tidak lagi menjadi tempat pulang.

Semoga tidak ada anak lain yang harus pulang dalam kantong kertas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *