JAKARTA – Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menargetkan Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bisa selesai sebelum pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) selesai.
Hal itu seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparmo. Dia menyebutkan, saat ini tersisa 2 isu krusial yang sedang dalam perumusan: Yakni, soal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan perihal power wheeling.
“Di ujung bulan kita alokasikan waktu untuk bahas RUU EBET. Tinggal 2 isu lagi yang masih tersisa, TKDN sudah hampir selesai dan Power Wheeling. Kalau itu sudah selesai saya kira bisa langsung bawa ke paripurna,” jelasnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (13/6).
Dengan begitu, pembahasan RUU EBET ditargetkan selesai sebelum masa jabatan Presiden RI Jokowi selesai, dan memungkinkan sebelum masa anggota DPR periode 2019-2024 usai.
“Kita targetkan selesai di periode (Presiden Jokowi) ini. Kalau pun tidak selesai, sebelum masa jabatan anggota DPR 2019-2024 selesai, itu sudah diketok (sah menjadi Undang-undang),” imbuhnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan bahwa sampai saat ini pembahasan mengenai RUU EBET masih terdapat beberapa isu permasalahan yang harus diselesaikan. Dia mengatakan, setidaknya ada empat poin utama usulan pemerintah, khususnya dari Kementerian ESDM, untuk menambahkan rumusan yang perlu tercantum dalam RUU EBET.
“Kami ingin merespons isu-isu yang sudah disampaikan dan kami juga akan memetakan tambahan daripada perwakilan-perwakilan kementerian yang hadir pada rapat hari ini,” ungkap Arifin dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (20/11/2023).
Lantas apa saja rumusan terbaru yang diusulkan oleh pemerintah? Berikut daftarnya:
1. Nilai Ekonomi Karbon, Pasal 7B
Arifin mengatakan, mengenai perdagangan karbon belum termaktub dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM), khususnya dalam pasal 7B poin 2 RUU EBET.
“Upaya pengurangan emisi gas rumah kaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi bagian dari mekanisme perdagangan karbon melalui prosedur perdagangan emisi, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain yang ditetapkan pemerintah sesuai perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Kemudian, Arifin juga mengungkapkan pasal 7B poin 3, pelaksanaan mekanisme perdagangan karbon sebagaimana dimaksud ayat 2 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup.
Selain itu, kegiatan investasi pengembangan EBT atau kegiatan konservasi energi sebagai usaha pengurangan emisi gas rumah kaca yang bersumber dari pendanaan luar negeri. Dalam rangka ini, tambahannya adalah kerangka kerja sama antarpemerintah dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup.
2. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), Pasal 24 dan 39
Arifin mengatakan dalam Pasal 24 dan 39, khususnya pada poin 2a versi pemerintah yakni pengutamaan produk dan potensi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan mempertimbangkan:
– Ketersediaan atau kemampuan produk dan potensi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 2
– Harga energi baru/energi terbarukan yang tetap kompetitif
– Pemberian fleksibilitas sesuai sumber pendanaan energi baru dan energi terbarukan.
“Jadi ini adalah tambahan kami yang mungkin nanti akan perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut untuk untuk tercapainya satu kesepakatan,” tambahnya.
3. Rumusan Kerja Sama Jaringan (Open Access), Pasal 29a dan 47a
Secara umum, rumusan ketentuan kerja sama jaringan atau open access mengatur mengenai:
– Keharusan pemegang wilayah usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas listrik yang bersumber dari EBET.
– Mekanisme jika pemegang wilayah usaha tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen, maka konsumen dapat diberikan pasokan listrik melalui point-to-point kerja sama pemanfaatan sewa pembangkit atau perjanjian jual beli listrik dengan pemegang wilayah usaha lainnya.
“Mekanisme yang dimaksud pada angka 2, dilakukan melalui usaha transmisi dan atau distribusi atau yang juga kalau bahasa Inggrisnya power wheeling, kita mungkin pakai bahasa distribusi dan transmisi,” pungkas Arifin.
Untuk melaksanakan usaha transmisi dan atau distribusi tersebut, Arifin mengatakan, wajib dibuka open access penyaluran listrik dari sumber EBET dengan mengenakan biaya yang diatur oleh pemerintah.
Hal itu dengan syarat tetap menjaga dan memperhatikan keandalan sistem, kualitas pelayanan pelanggan, dan keekonomian dari pemegang izin usaha transisi dan distribusi tenaga listrik.
4. Penggunaan Dana EBET, Pasal 56
1) Peruntukan Dana EBET, Pasal 56 ayat 3: Pemerintah mengusulkan penggunaan dana EBET antara lain untuk: pembiayaan infrastruktur, pembiayaan insentif, kompensasi Badan Usaha yang mengembangkan EBET, litbang, peningkatan kapasitas dan kualitas SDM, dan subsidi harga EBET yang belum dapat bersaing dengan harga energi fosil.
2) Badan Pengelola Dana EBET, Pasal 56 ayat 4: Pemerintah mengusulkan Dana EBET dikelola oleh Menteri Keuangan dengan menambahkan frasa ‘Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’. Sebelumnya, DPR mengusulkan substansi pengelolaan dana EBET dilakukan oleh Badan Khusus Pengelola Energi Terbarukan.