Dikisahkan, ada seorang saleh ahli ibadah yang secara ekonomi tergolong miskin. Setiap hari ia memintal kain dan di sore hari menjual kainnya ke pasar. Biasanya, hasil penjualan kainnya itu dibagi dua, sebagian dipakai membeli makanan untuk keluarganya dan sebagian lagi dibelanjakan kapas untuk bahan menenun di hari berikutnya.
Suatu hari, tidak lama setelah kainnya laku terjual, ia didatangi salah seorang kerabatnya dan menyampaikan keluh kesah akibat berbagai kebutuhan. Tanpa berpikir panjang, orang saleh pemintal kain itu pun menyerahkan semua uangnya kepada kerabat yang sedang terhimpit ekonomi.
“Mana makanannya? mana kapasnya?” tanya istri orang saleh yang kaget karena suaminya pulang dengan membawa tangan kosong.
“Tadi si Fulan menemuiku dan menyampaikan bahwa dia sedang mengalami kesulitan ekonomi. Akhirnya semua uangnya aku berikan kepada dia,” jawab orang saleh, sebagaimana dikisahkan Imam Ibnu Jauzi dalam Kitab ‘Uyunul Hikayat. (Ibnu Jauzi, ‘Uyunul Hikayat, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2019], halaman 133). “Terus kita mau bagaimana? kita sudah tidak punya apa-apa lagi,” ucap sang istri sedikit kecewa.
Orang saleh ini kemudian melihat sebuah mangkuk dan kendi pecah yang ada di rumahnya. Ia pun langsung mengambil pecahan 2 benda itu kemudian pergi ke pasar, berharap ada orang yang mau membelinya sehingga bisa menutupi kebutuhan keluarga.
Setelah menunggu cukup lama, ternyata tidak ada satu orang pun yang mau membeli 2 barang pecah itu. Ketika menunggu pembeli yang tak kunjung datang, tiba-tiba seseorang melintas sambil membawa ikan yang perutnya kembung. Saat itu, nasib orang yang membawa ikan ini mirip dengan orang saleh karena tidak ada yang mau membeli ikan kembung tersebut.
“Bagaimana kalau barangmu yang tidak laku itu dibarter dengan ikan yang juga tidak laku ini?” kata si pembawa ikan menawarkan pada orang saleh.
Tanpa berlama-lama, kedua belah pihak akhirnya setuju. Orang saleh pulang membawa ikan dan si pemilik ikan juga pulang membawa pecahan mangkuk dan kendi. “Apa yang akan kita lakukan pada ikan ini?” tanya sang istri setelah orang saleh itu pulang dan menjelaskan apa yang terjadi di pasar.
“Dipanggang saja lalu kita makan. Semoga Allah mendatangkan rejeki kepada kita semua,” ucap orang saleh. Baca Juga Kisah Ketulusan Si Miskin Bersedekah ke Orang Kaya Ketika perut ikan itu dibelah, istrinya sangat terkejut karena ada sebutir mutiara yang terselip di dalam perut ikan itu.
Kejadian tersebut kemudian dilaporkan pada suaminya. “Coba periksa, apakah mutiara itu sudah berlubang atau belum? kalau sudah berlubang berarti mutiara itu milik seseorang. Jika belum berlubang berarti itu rejeki dari Allah buat kita semua,” jelasnya.
Esoknya, orang saleh membawa mutiara ini pada salah satu sahabatnya yang berprofesi sebagai pengusaha batu mulia. “Dari mana kamu dapatkan mutiara ini?” tanya pengusaha batu mulia. “Itu adalah rezeki Allah yang dikirimkan kepada kami,” jawab orang saleh.
“Mutiara ini harganya 30 ribu (dinar), tapi saya tidak punya uangnya coba datangi si Fulan,” kata pengusaha itu.
Singkat cerita, mutiara itu laku terjual dengan harga 70 ribu (dinar). Saking banyaknya uang yang akan dibawa, pengusaha yang membeli mutiara ini meminta orang saleh untuk menyiapkan orang yang akan memanggul kepingan uang tersebut. Tidak lama setelah orang saleh memiliki banyak uang, tiba-tiba datang seorang pengemis.
“Tolong berikan saya sebagian dari apa yang telah Allah berikan kepadamu,” ucap pengemis itu. “Kemarin kondisi saya seperti kamu. Saya akan memberi separuh uang ini,” jawab orang saleh.
Orang saleh pun memberikan separuh uang yang ia dapatkan dari menjual mutiara. Si pengemis ini kemudian membuka identitasnya bahwa sebenarnya kedatangannya itu adalah untuk menguji atas rejeki yang telah diberikan kepada orang saleh tersebut.
Kisah ini seolah memberikan penjelasan dan penegasan bahwa menolong atau membantu orang lain sama saja dengan menolong atau membantu diri sendiri. Allah akan memberikan pertolongan dan bantuan kepada hamba-Nya dengan cara yang tidak terduga.
Selain itu, Allah juga akan menguji hamba-Nya dengan ujian pahit dan manisnya kehidupan dunia. Terkadang, ada orang yang berhasil melewati ‘ujian pahit’ namun gagal ketika melewati ‘ujian manis’, seperti yang dialami oleh Tsa’labah. Wallahu a’lam.
Aiz Luthfi,
Pengajar di Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah Subang, Jawa Barat.