JAKARTA – Anggota UKK Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Rachmat Ade Yudiyanto, M.Ked(Ped), Sp.A(K) mengatakan orang tua harus mengenali gejala-gejala awal hepatitis pada anak agar dampaknya tidak semakin kronis dan menimbulkan efek jangka panjang.
Ia menegaskan gejala hepatitis pada anak tidak selalu ditandai dengan ciri mata kuning tapi justru dimulai dengan gejala yang mirip flu atau flu like syndrome.
“Gejala awal pada hepatitis tidak serta merta mata anak langsung kuning. Kalau bicara gejala awal khususnya untuk hepatitis yang disebabkan infeksi yaitu (hepatitis) A,B,C justru gejala yang muncul seperti gejala flu yaitu demam, mual, muntah, sehingga memang kadang orang tua melihat ini kadang missed untuk memeriksakan anaknya karena tidak diketahui,” kata dokter Rachmat dalam diskusi daring yang diselenggarakan IDAI, Selasa.
Gejala seperti flu ini menurut dokter yang akrab disapa Ade itu mungkin berlangsung selama lima hari sebagai fase awal inkubasi virus, di masa ini orang tua harus peka memeriksakan anak ke fasilitas kesehatan terdekat atau menemui tenaga kesehatan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Terkait dengan gejala perubahan warna pada kulit atau mata anak menjadi kuning, justru menurut Ade hal itu menjadi pertanda bahwa penyakit hepatitis yang mungkin dialami anak telah memasuki fase lanjutan.
Fase lanjutan dari hepatitis pun bisa dilihat dari perubahan warna urine maupun feses sang buah hati yang memiliki warna berbeda dari kondisi anak-anak yang sehat.
Perubahan warna pada urine dan feses dalam fase lanjutan hepatitis pada pasien anak dapat terjadi karena terdapat gangguan pada saluran empedu atau dikenal juga dengan istilah medis kolestasis.
Dari fase lanjutan itu, perubahan warna urine menjadi ciri pertama yang harus diwaspadai apalagi ketika urine menjadi berwarna cokelat pekat seperti teh dan untuk perubahan feses warnanya akan menjadi pucat.
“Kalau tidak ada kuning (pada mata anak) tapi ada perubahan pada tinja dan urine ini orang tua juga harus waspada. Tanyakan dan pastikan pada tenaga medis bahwa ini hepatitis atau bukan. Kalau dilihat warna tinjanya tidak kuning atau cokelat tapi berwarna pucat ini harus dipastikan ke tenaga medis benar atau tidak anak mengalami hepatitis. Begitu juga dengan warna pipisnya, kalau warnanya seperti teh pekat itu harus diwaspadai,” katanya.
Ade menjelaskan dalam menegakkan diagnosis Hepatitis, tenaga medis atau dokter nantinya akan melakukan pengecekan darah pada pasien dengan memeriksa enzim SGPT (Serum Glutamate Pyruvate Transaminase).
SGPT normal pada orang sehat berada di rentang 7-56 unit mikro perliter, apabila hasilnya melebihi batas tersebut dua kali lipat hingga lebih dari itu maka besar kemungkinan pasien menderita hepatitis.
Jika hepatitis tidak ditangani sedari dini, maka risiko yang mungkin diterima penderitanya bisa lebih parah karena hepatitis dapat menyebabkan sirosis hati atau gagal hati yang tidak dapat disembuhkan.
Hepatitis dapat terjadi pada seseorang melalui dua jenis penyebab yaitu melalui infeksi atau pun melalui non-infeksi. Untuk infeksi biasanya disebabkan oleh virus dengan beberapa contoh di antaranya seperti Hepatitis A, Hepatitis B, dan Hepatitis C.
Sementara untuk hepatitis non-infeksi biasanya terjadi karena tubuh terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan atau terkena racun.
Dalam data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan tercatat prevalensi hepatitis pada semua umur di Indonesia mencapai 0,12 persen.
Penyakit ini sebenarnya dapat dicegah baik pada kelompok usia dewasa maupun anak-anak dengan menjaga pola hidup bersih dan sehat (PHBS) atau melalui vaksinasi hepatitis.
Saat ini vaksinasi yang tersedia secara gratis di Indonesia diperuntukkan untuk anak berupa vaksin untuk Hepatitis B, sementara untuk vaksin lainnya ialah hepatitis A tersedia namun berbayar di klinik kesehatan yang menyediakan jasa vaksin.