Ekonom UI Minta Insentif Kendaraan Hybrid Dibuat Setara dengan Mobil Listrik

mobil listrik
Foto: iStock

RISKS.ID – Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto, mendorong pemerintah menerapkan insentif kendaraan listrik yang lebih adil.

Dia menilai insentif bagi kendaraan battery electric vehicle (BEV) dan hybrid electric vehicle (HEV) harus didasarkan pada pengurangan emisi dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), bukan hanya jenis teknologi.

Bacaan Lainnya

“Segmen ini perlu diberikan kebijakan yang lebih fair dengan basis reduksi emisi dan TKDN. Insentif untuk HEV saat ini belum fair,” kata Riyanto dalam keterangan tertulis, Senin (24/11).

Saat ini, pemerintah memberikan insentif BEV berupa pembebasan bea masuk dan PPnBM 0 persen sebagai upaya tes pasar. Namun, kebijakan itu justru lebih banyak dinikmati kendaraan impor. Sebaliknya, kendaraan hybrid produksi dalam negeri hanya mendapatkan insentif sekitar 3 persen.

Banyak Produsen Hybrid Sudah Produksi Lokal

Menurut Riyanto, dorongan bagi kendaraan hybrid menjadi semakin relevan karena sejumlah produsen telah merakit model hybrid di dalam negeri dengan TKDN tinggi. Ia mencontohkan Honda yang memproduksi HR-V e:HEV di Karawang, Wuling Indonesia yang merakit Almaz Hybrid di Bekasi, hingga Toyota yang baru mulai memproduksi Veloz Hybrid secara lokal.

Produksi tersebut disebut menyerap ribuan tenaga kerja, dari lini produksi, pemasok komponen, logistik, hingga penjualan. Model hybrid rakitan lokal juga memiliki efek ekonomi lebih besar karena rantai produksinya lebih panjang dibanding kendaraan impor utuh.

Dia memperkirakan prospek kendaraan hybrid pada 2026 akan meningkat signifikan, terutama setelah insentif untuk BEV berstatus impor completely built-up (CBU) berakhir.

“Yang jelas tahun depan HEV akan lebih baik dari tahun ini. Estimasi saya HEV bisa 5 persen market share-nya. Beberapa pemain yang tadinya hanya menjual BEV akan menawarkan HEV, jadi akan banyak variasi model dari yang kecil sampai besar,” ujarnya.

Pasar Daerah Lebih Cocok Hybrid

Riyanto menilai kendaraan listrik murni dan hybrid memiliki segmentasi pasar berbeda. Pasar di daerah dinilai lebih cocok untuk kendaraan hybrid karena belum semua wilayah siap dengan fasilitas pengisian BEV. Karena itu, menurut dia, pemerintah layak memperpanjang sekaligus memperkuat insentif bagi produsen hybrid, terutama bagi yang meningkatkan kandungan lokal.

Pengamat otomotif Bebin Djuana juga mendukung pemberian insentif lebih besar bagi kendaraan hybrid. Menurut dia, jika fokus kebijakan adalah pengurangan emisi, maka teknologi hybrid layak mendapatkan keringanan yang lebih jelas.

“Jika fokus kita pada emisi, hybrid perlu diperhitungkan, bukan hanya BEV. BEV memang tidak menyumbang emisi, sedangkan hybrid mengurangi emisi sekaligus mengurangi pemakaian BBM. Sudah sepatutnya pajaknya dikurangi. Jika hal ini terjadi, tentu pasar hybrid akan meningkat,” kata Bebin.

Dia menilai pertumbuhan kendaraan hybrid ke depan bergantung pada besarnya insentif dan kemampuan produsen menghadirkan model baru. Menurutnya, peta pasar kendaraan elektrifikasi tahun mendatang ditentukan oleh kesiapan industri dalam negeri dalam memproduksi kendaraan secara efisien dan kompetitif.

Menperin Isyaratkan Insentif Baru

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut sektor otomotif memiliki multiplier effect yang tinggi terhadap ekonomi nasional. Oleh karena itu, Kemenperin mengusulkan pemberian insentif tambahan untuk mempercepat pengembangan industri otomotif, termasuk kendaraan elektrifikasi.

Kebijakan itu diharapkan mendorong pabrikan memperluas kapasitas produksi dan memperkuat posisi Indonesia di pasar kendaraan listrik dan hybrid dunia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *