
TANGSEL – Sebutan dan istilah “brain rot” mengacu pada kondisi penurunan kemampuan berpikir secara kognitif akibat terlalu banyak mengonsumsi konten yang dianggap kurang bermutu di internet.
Menurut Gary Small, MD, ketua psikiatri di Hackensack University Medical Center di Hackensack, New Jersey dan penulis The Memory Bible, brain rot bukanlah diagnosis medis yang sebenarnya.
Mungkin Anda menghabiskan waktu berjam-jam di sofa menonton video berkualitas rendah. Alih-alih merasa segar, Anda justru merasa pusing dan lelah. Brain rot ini justru membuat seseorang semakin malas.
Belum ada penelitian yang jelas mengenai tahapan terjadinya brain rot, namun beberapa ahli menduga dopamin terlibat di sini, yakni hormon “perasaan senang”. Ketika berselancar di media sosial, kadar dopamin otak dapat meningkat dan seseorang akan merasa bahagia di awal.
Namun, lambat laun otak menjadi terstimulasi dan kelelahan. Oleh karenanya, waspadalah jika memakai ponsel setiap hari, karena bisa memicu stres kronis.
Saat ini, teknologi modern memungkinkan orang mengonsumsi meme dan video receh di internet. Sehingga brain rot sekarang didefinisikan sebagai kondisi tumpulnya fungsi otak.
“Dari 5 miliar pengguna media sosial, siapa pun bisa mengalami kerusakan otak,” kata Gary Small. Remaja putri adalah pengguna terbesar. Mereka menghabiskan hampir tiga jam sehari di linimasa media sosial.
“Itu artinya banyak waktu tersita untuk melakukan aktivitas lain yang dapat memperkaya kognitif,” kata Gary.
Banyak aktivitas sehat yang dapat membangun fungsi otak. Kejadian atau kondisi menantang dapat memaksa otak untuk aktif bekerja. Aktivitas tersebut bisa berupa membaca, melakukan hobi, atau berkumpul dengan teman.
“Tetapi ketika seseorang hanya menggulir media sosial, otak tidak dilatih. Otak akan menjadi pasif,” lanjut Gary.
Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab brain rot, yaitu;
- Menonton video YouTube secara maraton
- Menggulir media sosial
- Berselancar di internet sambil mengirim pesan dan memeriksa email
- Bermain video gim
- Doomscroll (memeriksa umpan berita secara obsesif, meskipun itu mengganggu atau membuat Anda kesal)
- Waktu layar yang moderat mungkin tidak masalah. Namun, jika terlalu banyak, efeknya mulai terasa.
Menurut Gary, durasi screen time yang berlebihan dapat memicu kadar dopamin otak, hal itu justru bisa menjadi kecanduan perilaku, di mana seseorang merasa perlu melakukannya terus-menerus.
Berikut beberapa efek yang bisa terjadi pada otak ketika ‘kecanduan’ ponsel;
- Rentang perhatian yang lebih pendek. “Jika otak terbiasa dengan konten singkat, akan lebih sulit baginya fokus pada tugas yang lebih kompleks,” kata Daniel Schacter, PhD, seorang profesor psikologi di Universitas Harvard.
- Seseorang mungkin merasa lebih sulit menyelesaikan proyek kerja, membaca buku, atau bahkan mengobrol.
- Masalah memori. Jika menghabiskan sebagian besar waktu di media sosial, hal itu dapat mengganggu. Dan konten yang kurang bermanfaat dapat menghilangkan alasan seseorang untuk mengingat sesuatu. Sebuah ulasan menemukan bahwa konten internet dapat memengaruhi memori. Seseorang bisa jadi cenderung tidak mengingat tugas-tugas tertentu seperti ulang tahun atau petunjuk arah.
- Masalah pemecahan masalah. Terlalu banyak waktu di depan layar dapat menipiskan korteks serebral, bagian otak yang mengontrol memori, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Dengan jaringan otak lebih sedikit, lambat laun seseorang akan kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, kata Small.
- Kecemasan. Penelitian menunjukkan tingkat stres bisa meningkat jika mengalami doomscroll. Dan juga meningkatkan kecemasan.
“Saat seseorang mengalami stres kronis, hal itu juga memengaruhi memori, jika terlalu banyak melihat layar, ini justru menstimulasi otak secara berlebihan,” kata Gary.
“.”
Artikel Batasi Penggunaan Gawai dan Screen Time, Efeknya Memicu Brain Rot pertama kali tampil pada tangselxpress.com.
tangselxpress.com





