RISKS.ID – Sore itu, langit Jakarta menggantung kelabu. Di RS Fatmawati, ruang perawatan anak, sunyi seperti menahan napas. Di sudut ruangan, tangan kurus seorang bocah 13 tahun yang sudah tak lagi bergerak masih digenggam erat oleh sang ibu, genggaman yang tak ingin dilepas, meski dokter telah memastikan sesuatu yang paling ditakuti, Muhammad Hisyam sudah pergi.
Hisyam, siswa SMPN 19 Tangerang Selatan, menghembuskan napas terakhirnya setelah sepekan berjuang melawan luka fisik dan trauma mendalam yang diduga kuat berasal dari tindakan perundungan di sekolahnya. Luka yang bukan hanya merobek tubuhnya, tapi juga mengiris jiwa seluruh keluarganya.
Hari berganti hari, kepolisian terus mencoba menyusun kepingan puzzle tragedi yang sangat memilukan ini. Enam saksi sudah diperiksa, mereka yang disebut mengetahui kejadian yang menyeret bocah 13 tahun itu pada nasib tragisnya.
“Enam saksi yang pasti, yang mengetahui tentang kejadian tersebut,” ujar Kapolres Tangsel AKBP Victor DH Inkiriwang, Selasa (18/11).
Namun, dari keterangan saksi-saksi itu, belum semua titik terang muncul. Ada fragmen cerita yang saling tumpang tindih, ada detil yang masih ditutup rapat oleh ketakutan, dan ada bagian yang bahkan belum sanggup diucapkan.
“Sampai saat ini kita masih menyelidiki, sudah berkoordinasi dengan para ahli, UPTD PPA, dan KPAI juga sudah turun,” terang Victor.
Setiap keterangan yang masuk bagai membuka ulang luka. Polisi juga telah bertemu dengan dokter yang menangani Hisyam dan berbicara langsung dengan keluarga saat mereka melayat. Wajah-wajah keluarga yang tampak di pemakaman hari itu bukan sekadar menunjukkan kesedihan, tetapi kehancuran.
Tangis yang Tak Pernah Dipersiapkan
Muhammad Hisyam meninggal dunia pada Minggu (16/11). Seminggu sebelumnya, tubuhnya yang ringkih terbaring di ruang rumah sakit setelah diduga mengalami kekerasan fisik yang membuatnya tak lagi mampu berdiri tegak. Seorang anak yang sebelumnya sehat, ceria, dan bersemangat pergi sekolah, pulang dengan trauma yang tak tertahankan.
Ibunya, dalam diam, berkali-kali menatap foto Hisyam, bocah yang selalu tersenyum ketika masih duduk berseragam putih biru. Kini senyum itu abadi, tidak lagi bisa dilihat langsung, hanya tersimpan dalam bingkai.
Betapa banyak cerita yang belum sempat diceritakan Hisyam. Betapa banyak rasa sakit yang ia pendam, sebelum akhirnya tubuh mungilnya menyerah.
Luka Ini Tidak Boleh Dibiarkan Membusuk
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, datang ke Tangsel, kota yang konon disebut sebagai kota ramah anak yang cerdas dan religius. Wajahnya tegas namun tak bisa menyembunyikan keprihatinan mendalam.
“Kami akan bertemu pihak keluarga. Supaya kita tahu duduk perkaranya bagaimana,” ujarnya.
Diyah mengungkapkan bahwa dugaan perundungan yang terjadi di SMPN 19 Tangsel memiliki unsur kekerasan yang jelas. Luka-luka yang dialami Hisyam bukan luka kecil, bukan luka akibat jatuh atau kecelakaan biasa. Luka itu membawa pesan kelam: ada yang salah di lingkungan sekolah.
“Bullying ada di mana-mana. Kita semua sepakat jangan sampai ada lagi,” tegasnya.
Meski pelaku yang diduga terlibat masih di bawah umur, proses hukum tetap bisa ditempuh melalui mekanisme peradilan anak. Bagi KPAI, tragedi ini tidak boleh ditutup dengan kata “musibah”. Ini adalah alarm keras yang harus ditangani tegas.
Sekolah Justru Menjadi Tempat Rasa Takut Bertumbuh
SMP bukan sekadar tempat belajar. Ia seharusnya ruang untuk tumbuh, menemukan jati diri, bermain, dan berteman. Tetapi bagi Hisyam, tempat itu berubah menjadi tempat terakhir yang mungkin membuatnya merasa sendirian.
Di sekolah, suara korban perundungan sering kali paling pelan terdengar. Terkadang mereka diam karena takut. Terkadang diam karena tidak tahu harus bicara kepada siapa. Dan paling menyakitkan, terkadang diam karena sudah putus asa.
Hisyam mungkin salah satu dari mereka. Seseorang yang ingin bersuara, tetapi tidak tahu apakah suaranya akan dianggap atau justru diabaikan.
Kini keluarga Hisyam harus menjalani hari-hari tanpa kehadirannya. Bayangan bocah itu yang dulu berlarian di ruang tamu kini digantikan kesunyian panjang. Piring makan yang tak lagi dipakai. Seragam sekolah yang menggantung rapi tetapi tak akan dipakai lagi.
Sementara itu, polisi terus melangkah, perlahan namun pasti, mengurai satu per satu jejak terakhir Hisyam. Mereka berkomitmen menggali lebih dalam, menanyai keluarga, saksi, guru, hingga rekan-rekan sekolah Hisyam.
“Kami akan mintai informasi dalam waktu dekat,” kata Kapolres Tangsel.
Tragedi ini bukan hanya milik keluarga Hisyam. Ini adalah potret luka banyak anak Indonesia yang suaranya belum didengar. Dan selama bullying masih menjadi hantu yang bersembunyi di sudut-sudut sekolah, tragedi serupa bisa terjadi lagi.
Hisyam telah pergi. Tetapi kisahnya tidak boleh ikut terkubur. Dari duka yang mendalam inilah, semoga lahir kesadaran baru: bahwa keselamatan anak bukan sekadar slogan, tapi tanggung jawab nyata yang harus dijaga bersama.





