RISKS.ID – Di antara hiruk-pikuk petugas SAR yang tak kenal lelah menyingkirkan bongkahan tanah dan puing, seorang pria setengah baya duduk sendirian di bawah rindang sebuah pohon besar. Tubuhnya ringkih, punggungnya membungkuk, dan pandangannya kosong.
Itulah Sariman, pria 48 tahun, warga Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Cilacap, yang kini hidup dengan luka paling dalam yang mungkin dialami seorang ayah.
Rumahnya telah rata dengan tanah, ditelan longsor yang datang tiba-tiba.
Namun kehilangan harta benda bukanlah duka terbesar yang ia pikul. Istrinya, Nina, serta dua anaknya, Fani dan Fatin, masih belum ditemukan hingga hari ini.
Setiap langkah petugas, setiap suara cangkul yang menghantam tanah basah, setiap teriakan kecil dari relawan yang memberi tanda penemuan, membuat dada Sariman bergetar hebat.
“Kalau dengar kabar ada yang ditemukan, hati saya langsung bergetar. Rasanya kemroso banget,” ujarnya lirih, hampir tak terdengar, Senin (17/11).
Matanya berkaca-kaca, suaranya patah. “Saya berdoa semoga yang ditemukan itu istri dan dua anak saya,” harap dia.
Menunggu dalam Sepi, Setiap Hari tanpa Putus
Setiap pagi, sebelum matahari naik, Sariman sudah tiba di lokasi evakuasi. Ia berdiri, duduk, atau sekadar berjalan tanpa arah di sekitar area pencarian. Sesekali ia menutup wajah dengan kedua tangannya, seolah tengah berusaha menahan luapan emosi yang terus menggedor dadanya.
Dan ketika senja turun dan pencarian dihentikan, Sariman masih tetap di sana. Menatap gelap. Mengharap keajaiban.
“Saya selalu berdoa setiap waktu. Dari pagi sampai pencarian selesai, saya selalu menunggu di sini,” katanya.
Kini, ia menumpang di rumah kerabat, tetapi sebagian jiwanya seakan masih tertinggal di bawah timbunan longsor itu—bersama orang-orang yang ia cintai.
Kepulangan yang Penuh Luka
Dua tahun terakhir, Sariman merantau ke Palembang menjadi buruh bangunan demi menafkahi keluarganya. Malam itu, telepon dari keponakannya membuyarkan seluruh lelahnya.
“Pulang, Pakde… desa longsor,” begitu kabar yang ia terima.
Tanpa banyak kata, Sariman langsung bergegas pulang. Perjalanan panjang itu ia tempuh dengan hati yang terus dilanda firasat buruk. Setibanya di desa, Jumat (14/11/2025) pukul 02.30 WIB, lututnya seketika lemas.
Desa yang ia tinggalkan untuk bekerja kini tak lagi sama. Rumah-rumah tertimbun, pepohonan tumbang, tanah retak besar menganga di sana-sini. Yang terdengar hanya suara tangis, doa, dan panggilan keluarga yang mencari orang-orang yang mereka sayang.
Ketua RT kemudian menghampirinya, menatapnya dengan mata berat. Dengan suara tercekat, ia menyampaikan kabar yang membuat dunia Sariman runtuh seketika: istrinya dan dua anaknya masuk daftar korban hilang.
Air mata yang semula ia tahan pecah begitu saja. Tubuhnya terguncang. Saat itu, tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan rasa kehilangan yang menghujam.
Pelukan Pemimpin di Tengah Duka
Ketika Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi meninjau lokasi bencana, ia menghampiri Sariman. Tak banyak percakapan yang terjadi. Namun dalam pelukan itu—pelukan seorang pemimpin terhadap warganya—tersimpan duka, empati, dan doa agar pencarian memberi secercah harapan.
Kini, di bawah pohon tempat ia menunggu setiap hari, Sariman hanya ingin satu hal: menemukan keluarganya, apa pun keadaannya. Agar ia memiliki penutup luka, agar ia bisa menguburkan duka dengan layak.
Tetapi sampai saat ini, harapan itu masih bergantung di antara tanah yang masih labil, cuaca yang tak menentu, dan waktu yang terus berjalan pelan—sepelan langkah seorang ayah yang hatinya patah dan tak mungkin tersambung lagi.





