Menyesap Keheningan Wilis: Kisah Hendrawan dan Secangkir Kopi dari Lereng Kediri

MINUM KOPI

RISKS.ID – Di sebuah pagi yang masih diselimuti embun tipis, aroma kopi baru saja diseduh menyeruak dari beranda sebuah homestay sederhana di Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Uap panas mengepul dari sebuah cangkir tanah liat.

Warnanya pekat, namun tidak gelap legam—lebih mirip coklat tua yang menyimpan hangat matahari gunung. Di hadapan cangkir itu, duduk seorang lelaki berkacamata, mengenakan jaket tipis, dan sesekali tersenyum kecil setiap kali menghirup aromanya.

Bacaan Lainnya

Dialah Hendrawan Wicaksono, pria kelahiran Kediri yang kini tinggal di Medan, Sumatera Utara, yang sengaja datang jauh-jauh ke kota kelahirannya untuk satu alasan sederhana tapi sangat personal: mencari rasa dari kopi Wilis.

Perjalanan Rasa dari Medan ke Kediri

Hendrawan bukan barista. Ia bukan pemilik kedai kopi. Ia juga tidak bekerja di industri kopi. Ia hanya seorang penikmat, begitu ia menyebut dirinya. Seorang penjelajah rasa yang percaya bahwa setiap daerah punya cerita melalui secangkir kopi.

“Tiga tahun lalu saya pertama kali dengar soal kopi Wilis,” ujarnya, menatap ke arah Gunung Wilis yang berdiri anggun seolah mendengarkan ceritanya. “Katanya rasanya beda. Ada yang bilang lembut, ada yang bilang fruity, ada juga yang bilang punya aroma tanah dan kayu yang kuat. Saya penasaran, dari semua cerita itu mana yang benar?”

Rasa penasaran itulah yang akhirnya membawanya menempuh ribuan kilometer dari Medan ke Kediri.

“Saya ingin merasakan sendiri. Tidak lewat kiriman, tidak lewat online shop. Kopi harus dicicipi di tanah kelahirannya,” katanya.

Gunung Wilis: Rumah bagi Aroma yang Tidak Dibikin-Bikin

Gunung Wilis bukan penghasil kopi terbesar di Jawa Timur, tapi nama wilayah ini mulai naik daun di kalangan penikmat kopi manual brew. Pertumbuhan di ketinggian 800–1.200 mdpl membuat biji kopi arabikanya punya karakter alami yang kuat.

“Begitu saya datang ke kebunnya, saya langsung mengerti,” ujar Hendrawan sambil menceritakan pertemuannya dengan para petani lokal. “Mereka masih memetik secara selektif. Satu-satu. Yang merah saja. Itu yang bikin kualitasnya terjaga.”

Tanah vulkanik Wilis yang subur juga memberi sentuhan khas. Ada aroma segar seperti daun basah setiap kali bijinya digiling.

“Waktu pertama kali dihancurkan di grinder, saya langsung terdiam,” kenangnya. “Aromanya naik perlahan, bukan menyerang. Ada wangi kayak kacang panggang, bercampur bunga liar. Saya belum pernah dapat aroma seperti itu bahkan dari kopi Gayo yang lebih terkenal.”

Ritus Minum Kopi ala Wilis

Bagi Hendrawan, menikmati kopi Wilis tidak cukup hanya dengan meminumnya. Ada ritual kecil yang membuat setiap teguk jadi bermakna.

Pertama, ia meminta kopi disajikan tanpa gula, tanpa susu, tanpa tambahan apa pun.

“Kopi kan bukan soal pahit atau manis. Kopi soal jujur atau tidak,” tuturnya.

Ia kemudian mencium aromanya dulu, memejamkan mata, lalu mengambil tegukan kecil.

“Rasanya halus sekali. Tidak ada pahit yang menggigit,” katanya. “Di awal itu kayak ada rasa coklat dan kacang, lalu masuk ke fruity tipis. Aftertaste-nya bersih. Ini kopi yang tidak banyak drama, tapi punya kedalaman.”

Menurutnya, kopi Wilis punya karakter tenang.

“Kalau kopi Mandailing itu tegas. Kopi Gayo itu wangi dan kuat. Kopi Wilis ini… lembut, tapi berani. Kayak orang yang sabar tapi tahu apa yang dia mau.”

Desiran Angin di Lereng: Rasa yang Tidak Bisa Dibawa Pulang

Yang membuat Hendrawan jatuh cinta bukan hanya kopinya. Tapi suasana saat ia menikmatinya.

Di depan beranda tempatnya duduk, hamparan hijau lembah Wilis terbentang seperti permadani. Burung-burung berkicau, kabut turun perlahan, dan suara air sungai terdengar dari kejauhan.

“Kopi ini enak bukan karena bijinya saja,” katanya. “Tapi karena saya menikmatinya di tempat ia tumbuh. Anginnya, tanahnya, aroma pohon-pohon di sekitar kebun… semua itu ikut masuk ke dalam rasa.”

Ia yakin ada elemen yang tak bisa dikemas dalam kantong 200 gram.

“Kalau nanti saya pulang ke Medan dan menyeduh kopi yang sama, rasanya pasti beda. Yang saya bawa pulang hanyalah bijinya. Tapi rasa perjalanannya, tak mungkin bisa dikirim.”

Percakapan dengan Para Petani: Kesederhanaan yang Menguatkan Rasa

Di kebun kopi yang ia kunjungi, Hendrawan berbincang panjang dengan beberapa petani.

“Mereka kerja mulai subuh. Tidak pakai mesin modern,” ceritanya. “Banyak proses masih manual. Ada yang masih menjemur di para-para bambu.”

Namun kesederhanaan itu justru membuatnya semakin menghargai setiap tegukan.

“Kopi Wilis bukan kopi yang dikejar kuantitas. Banyak petani bilang, lebih baik sedikit tapi bagus,” katanya.

Ia juga mendengar keluhan tentang cuaca yang tak menentu, hama yang semakin ganas, hingga harga jual yang sering fluktuatif. Tapi para petani tetap tersenyum, tetap bangga dengan hasil bumi mereka.

“Saya merasa kayak belajar banyak dari kopi ini. Tentang kesabaran, tentang ketekunan, tentang menghargai proses,” katanya.

Secangkir Kopi yang Mengubah Cara Pandangnya

Sebelum datang ke Kediri, Hendrawan mengaku minum kopi hanya soal mencari rasa.

“Tapi setelah coba kopi Wilis, saya sadar minum kopi itu juga soal menemukan cerita,” ujarnya.

Ia merasa kopi Wilis mengajarinya satu hal: rasa terbaik lahir dari kesederhanaan dan ketulusan.

“Saya datang dari Medan hanya untuk secangkir kopi,” katanya sambil tertawa pelan. “Tapi rasanya yang saya dapat jauh lebih dari itu. Ini bukan lagi soal enak atau tidak. Ini soal menemukan ketenangan.”

Ia menatap cangkirnya yang mulai kosong, lalu menambahkan pelan,

“Kalau ada surga kecil di dunia, mungkin rasanya seperti ini. Hangat, pelan, jujur.”

Penutup: Rasa yang Tinggal Lama Setelah Tegukan Terakhir

Seiring matahari naik dan kabut menyingkir, Hendrawan menyeduh cangkir keduanya sebelum pulang. Ia mengatakan bahwa setiap teguk membuatnya semakin yakin bahwa kopi Wilis bukan sekadar minuman, tapi pengalaman rasa yang melibatkan alam, petani, dan perjalanan batin.

“Saya akan kembali ke sini,” katanya. “Bukan hanya untuk kopinya, tapi untuk merasakan lagi kedamaian di lereng Wilis.”

Di tengah ramainya dunia kopi saat ini, cerita Hendrawan mengingatkan bahwa ada keindahan yang hanya bisa ditemukan dalam kesederhanaan—dalam secangkir kopi yang dinikmati perlahan, di tempat ia lahir, di hadapan gunung yang diam tapi selalu bercerita.

Dan di Kediri, kopi Wilis terus menghangatkan hari banyak orang. Termasuk seorang perantau dari Medan yang jatuh cinta pada rasa tanah Jawa Timur.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *