RISKS.ID, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian pada PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang mencapai USD8,95 juta atau sekitar Rp146,11 miliar, dengan asumsi kurs Rp16.325 per dolar AS.
Potensi kerugian tersebut berasal dari transaksi penjualan produk aluminium alloy kepada PT PASU, sebagaimana tercantum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2024.
Temuan ini merupakan bagian dari hasil audit atas pendapatan, biaya, dan investasi badan usaha milik negara (BUMN) serta badan lainnya.
Dalam laporan tersebut, BPK mencatat bahwa Inalum melakukan penjualan kepada PT PASU menggunakan skema pembayaran document against acceptance (D/A) tanpa agunan.
Padahal, sesuai Surat Keputusan Direksi Nomor SK-020/DIR/2019, Inalum seharusnya memberlakukan sistem pembayaran di muka untuk seluruh transaksi penjualan.
BPK menilai bahwa metode pembayaran D/A tanpa jaminan tersebut berisiko tinggi karena bergantung sepenuhnya pada kesanggupan pembeli untuk memenuhi kewajiban pembayaran.
Jika pembeli gagal membayar, perusahaan berisiko menanggung kerugian akibat piutang yang tidak tertagih, termasuk bunga dan denda.
“Hal ini mengakibatkan potensi kerugian perusahaan atas piutang usaha tak tertagih serta bunga dan denda PT PASU sebesar USD8,95 juta,” demikian tertulis dalam laporan IHPS II-2024 yang dikutip, Senin (2/6/2025).
Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Direktur Utama Inalum untuk menyusun atau merevisi kebijakan penjualan produk agar selaras dengan prinsip kehati-hatian dan Business Judgement Rule. BPK juga meminta manajemen, termasuk Direktur Keuangan, memperkuat sistem manajemen risiko dan melakukan langkah-langkah aktif dalam penagihan piutang dari PT PASU. (*)