Budaya Ting We: Tradisi Ngelinting Dewe yang Tetap Hidup di Tengah Arus Modernisasi

ting we
Ilustrasi ngelinting dewe. Foto: Istimewa/Net

RISKS.ID- Di sudut-sudut pedesaan Jawa, di mana pagi masih akrab dengan aroma embun dan langkah-langkah petani yang menuju sawah, ada satu kebiasaan sederhana namun penuh makna yang masih lestari: ting we—kependekan dari tingwe atau ngelinting dewe, sebuah tradisi merokok dengan cara meracik sendiri tembakau dan membungkusnya menggunakan klobot atau kertas linting.

Meski rokok pabrikan membanjiri pasaran, budaya ting we tak serta-merta hilang. Ia tetap hidup, menjadi bagian dari identitas sosial dan kultural masyarakat Jawa.

Bacaan Lainnya

Aroma yang Mengikat Kenangan

Bagi banyak warga lansia di pedesaan, ting we bukan sekadar cara merokok, tetapi juga jembatan kenangan menuju masa lampau. Asap tembakau iris yang hangat seringkali mengingatkan pada masa ketika ayah atau kakek mereka duduk di serambi rumah, menghabiskan sore sambil menggulung rokok sendiri.

“Dulu, sebelum ada pabrik besar, rokok ya begitu—diiris, dikeringkan, lalu dilinting,” ujar Mbah Sutikno, seorang petani tembakau di lereng Gunung Kawi. Baginya, ting we adalah cara merawat warisan keluarga. “Rasanya beda, ada kebanggaan bisa bikin sendiri,” tambah Sutikno.

Ritual Kecil yang Penuh Keahlian

Proses ngelinting dewe sendiri adalah ritual yang membutuhkan ketelatenan. Tembakau rajangan halus diletakkan merata di atas klobot atau selembar kertas putih tipis. Jari-jari yang terlatih kemudian menggulungnya perlahan, memastikan padat-tidaknya sesuai selera. Tak sedikit yang menyelipkan cengkeh, adas, atau sedikit gula jawa untuk menambah aroma.

Dalam budaya Jawa, kemampuan melinting rokok menjadi bentuk keterampilan yang dihargai. Di pasar-pasar tradisional, kita masih bisa menemukan pedagang tembakau yang menyajikan berbagai campuran rajangan, masing-masing dengan karakter rasa yang khas: ada yang lebih pedas, lebih manis, lebih kuat, atau lebih ringan.

Ekspresi Kepribadian dan Kemandirian

Di balik kesederhanaannya, ting we juga menyimpan filosofi tentang kemandirian. Masyarakat Jawa menyebut ngelinting dewe sebagai bentuk “ngatur dhewe”—mengatur sendiri apa yang hendak dinikmati. Perokok memilih komposisi tembakau, menentukan tebal-tipisnya lintingan, bahkan memilih klobot yang menurut mereka paling “enak” saat terbakar.

Bagi sebagian anak muda di pedesaan atau wilayah semi-urban, ting we justru hadir sebagai bentuk perlawanan halus terhadap komersialisasi rokok pabrikan. Mereka beranggapan ting we lebih jujur, lebih alami, dan lebih personal.

“Kita bisa ngeracik sendiri sesuai selera, dan rasanya lebih otentik,” kata Agung, pemuda 27 tahun dari Klaten yang mengaku mulai ting we sejak kuliah.

Ekonomi Lokal yang Tetap Bergerak

Keberadaan komunitas ting we masih menjadi penopang ekonomi mikro di banyak desa. Petani tembakau lokal tetap menanam dan mengolah tembakau rajangan yang dijual langsung tanpa melewati pabrikan besar. Begitu pula perajin klobot di wilayah Kediri, Blitar, hingga Wonosobo yang masih memproduksi pembungkus rokok dari daun jagung kering.

Perputaran ekonomi ini mungkin tak sebesar industri rokok skala nasional, tetapi bagi masyarakat kampung, ting we adalah sumber penghidupan yang stabil. Ia menjaga rantai tradisi: dari petani, pedagang, hingga perokok yang setia pada cita rasa lama.

Simbol Keakraban dalam Interaksi Sosial

Dalam banyak kesempatan, ting we juga menjadi simbol keakraban. Di pos ronda, setelah panen, atau dalam acara kenduri, seseorang yang tengah melinting rokok seringkali mengundang perbincangan kecil. Tembakau dibagi, klobot dilewatkan, dan percakapan mengalir—mulai dari urusan sawah hingga politik desa.

Tradisi berbagi tembakau atau menawarkan hasil lintingan sendiri merupakan bentuk unggah-ungguh sosial yang memperkuat hubungan antarwarga. Di beberapa komunitas, menolak tawaran rokok lintingan dianggap kurang sopan, kecuali alasan kesehatan.

Tantangan di Era Modern

Meski begitu, budaya ting we perlahan menghadapi tantangan. Kota-kota besar mulai meninggalkan kebiasaan ini, digantikan rokok pabrikan yang lebih praktis. Regulasi tembakau dan kampanye kesehatan turut menekan popularitasnya. Namun, di pedesaan, ting we tetap bertahan sebagai pilihan—bukan hanya karena harga yang lebih murah, tetapi karena ia bagian dari cara hidup.

Di beberapa daerah, komunitas pencinta ting we kini mulai mengemas budaya ini sebagai bagian dari wisata budaya, memperkenalkan proses meracik tembakau kepada wisatawan. Upaya-usaha ini menunjukkan bahwa ting we tidak serta-merta ditinggalkan; ia sedang mencari bentuk baru agar tetap relevan.

Lebih dari Sekadar Rokok

Pada akhirnya, ting we bukan hanya tentang menggulung tembakau. Ia adalah representasi dari kesahajaan, kreativitas, dan identitas masyarakat Jawa. Ia mengikat masa lalu dan masa kini melalui selembar klobot dan jemari yang terampil.

Di tengah gempuran modernitas, budaya ngelinting dewe menjadi pengingat bahwa tradisi tidak selalu harus megah. Kadang, ia hadir sesederhana sebatang rokok yang dilinting sendiri—dengan rasa, aroma, dan cerita yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah duduk di serambi rumah sambil menghirup harum tembakau rajangan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *