Didit “Mbah Gondrong” Presijanto, Cerita 10 Tahun dari Balik Asap Rokok Tingwe di Ngadiluwih Kediri

didit presijanto
Mbah Gondrong saat melakukan ritual tingwe di rumahnya di Ngadiluwih Kediri. Foto: Wahyu Sakti Awan/RISKS.ID

RISKS.ID – Di sebuah rumah sederhana di pinggir sawah Desa Purwokerto di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, setiap pagi Didit Presijanto selalu memulai harinya dengan ritual kecil yang sudah ia jalani selama lebih dari satu dekade.

Di meja kayu dekat jendela, pria yang akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Gondrong itu menyiapkan secarik kertas rokok, sebungkus tembakau, dan sebilah alat penggulung sederhana.

Bacaan Lainnya

Dengan telaten, pria berusia lima puluhan itu meracik tembakau, merapikannya, lalu menggulungnya menjadi sebatang rokok tingwe—“ngelinting dewe”—yang kini sudah menjadi identitas hidupnya.

“Aku wis sepuluh tahun ora tuku rokok pabrik,” ujar pria yang juga pelatih renang andal Kabupaten Kediri itu sambil tersenyum tipis. “Tingwe iku luwih enak, luwih murah, lan rasane pas karo seleraku,” tambah dia.

Bagi Didit, tingwe bukan sekadar kegiatan merokok. Ia adalah pilihan sadar, bentuk kemandirian, sekaligus kesenangan kecil yang memberikan ketenangan di sela-sela rutinitas.

Ketua PRSI Kabupaten Kediri itu juga ingat betul saat pertama kali memutuskan beralih dari rokok pabrikan. Harga rokok yang terus merangkak naik membuatnya berpikir ulang. Namun, alasan utama bukan hanya soal ekonomi.

“Rokok pabrik rasane kok kayak monoton. Beda karo tingwe, aku iso nentokake campuran sing tak senengi dhewe,” katanya.

Mbah Gondrong saat menghisap rokok tingwenya. Foto: Wahyu Sakti Awan/RISKS.ID

Meramu Rasa dari Tiga Penjuru Nusantara

Tidak seperti sebagian perokok tingwe yang mencampur tembakaunya dengan cengkeh, Didit memilih jalur berbeda. Ia ingin rasa yang “lebih murni” dan kuat, tanpa sensasi manis atau pedas khas cengkeh. Campurannya sederhana, tetapi baginya sangat pas: tembakau Situbondo, Temanggung, dan Bojonegoro.

Tembakau Situbondo memberi aroma lembut dan ringan, cocok untuk mengawali lintingan. Temanggung, dari dataran tinggi Jawa Tengah, terkenal dengan kadar nikotinnya yang kuat serta karakter rasa yang pekat.

Sementara Bojonegoro hadir sebagai penyeimbang—tidak terlalu kuat, tidak terlalu ringan, tapi memberi sensasi hangat di tenggorokan.

“Kalau dicampur pas, rasane itu nggak bikin enek. Ada lembutnya, ada kuatnya, tapi tetep halus di akhir,” jelas Didit sembari membolak-balik daun tembakau yang ia simpan dalam kantong kain sederhana. Ia bahkan mengaku bisa membedakan kualitas tembakau hanya dari aromanya.

mbah gondrong
Bagi Mbah Gondrong, rokok tingwe bukan soal rasa, tapi yang terpenting adalah seni. Foto: Wahyu Sakti Awan/RISKS.ID

Ritual yang Melestarikan Ingatan

Bagi Didit, aktivitas nglinting bukan pekerjaan terburu-buru. Ia menikmatinya pelan-pelan, hampir seperti meditasi. Suara gesekan kertas rokok, aroma tembakau yang keluar dari bungkus, hingga sensasi jari-jemarinya meratakan gulungan — semuanya menghadirkan ketenangan tersendiri.

Ia bercerita bahwa kebiasaan ini ia dapatkan dari almarhum kakeknya yang dulu juga seorang perokok tingwe. “Rasane koyo nyambung karo Mbah Kung. Cara nglinting, cara ngerasakne baune, kabeh diwarisne,” ungkapnya lirih.

Lebih Murah, Tapi Bukan Alasan Utama

Meski sering dianggap pilihan ekonomis, Didit menegaskan bahwa faktor harga hanya sebagian kecil dari alasan ia bertahan. Dengan Rp 5.000–7.000 per bungkus tembakau kecil, ia bisa menikmati rokok selama beberapa hari—jauh lebih hemat dibanding rokok pabrikan.

Namun yang membuatnya betah adalah kebebasan untuk menentukan rasa dan gaya merokoknya sendiri.

“Tingwe iku seni,” tegasnya sambil terkekeh. “Ngelinting sing apik, rapet, nanging ora kenceng banget. Nek salah, nanti rokoknya mudah ‘mbrodol’. Nek bener, bakare alus lan awet.”

Fenomena Tingwe di Pedesaan Kediri

Kebiasaan Didit bukan hal asing di wilayah pedesaan Kediri. Seiring naiknya harga rokok, tingwe kembali populer di kalangan masyarakat yang ingin menekan pengeluaran, sekaligus menikmati pengalaman merokok yang lebih personal.

Banyak pula yang merasa rokok pabrikan terasa terlalu “ringan” atau terlalu banyak campuran, sehingga tingwe menjadi alternatif yang dianggap lebih “alami”.

Di Ngadiluwih, sejumlah warung bahkan kini menyediakan berbagai varian tembakau dari berbagai daerah, dari yang lembut hingga yang paling “nyegrak”. “Tingwe saiki rame maneh. Laris, Mas,” kata Mas Bendol, seorang pemilik warung yang sering memasok tembakau untuk Didit.

Sepuluh Tahun dan Masih Berlanjut

Meski menyadari bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan, Didit tetap memilih jalur tingwe sebagai bentuk kemandirian dan kenyamanan pribadi. Ia tidak menyarankan orang lain untuk ikut merokok, tetapi bagi dirinya, tingwe sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang sulit dipisahkan.

“Aku ngerti risiko merokok, mesthi ngerti. Tapi yen isih merokok, yo tak pilih sing paling cocok karo aku,” ujarnya.

Di akhir obrolan, Didit kembali mengambil selembar kertas rokok dan sejumput tembakau. Gerakannya lambat, penuh perasaan, seolah sedang menciptakan karya kecil yang hanya bisa ia nikmati sendiri.

Sepuluh tahun telah berlalu, dan tampaknya perjalanan Didit bersama rokok tingwe masih akan terus berjalan—sebuah kisah sederhana dari sudut Ngadiluwih, tentang selera, pilihan hidup, dan seni kecil dalam keseharian.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *